“Taufan, kamu sekolah di rumah dulu ya.”
“Kenyataan itu hampir nggak ada yang manis. Pahit semua, tapi berkhasiat. Kalau manis semua, kau nggak bisa ngehargain perjuanganmu di dunia ini. Yang ada sakit gigi.”
Entah itu jokes dari Ice atau apa. Tapi anaknya memang ngomong gitu pas Amato sedang duduk sambil meremas kaleng softdrinknya. Merenungi buah hati kedua.
Ini Taufan.
Bagaimana mendeskripsikan wajah sang ayah mendengar Taufan di diagnosis sebagai pengidap autisme?
Ambyar.
Sesak, rasanya sesak sekali. Saat usia Taufan kala itu menginjak 4 tahun, ia yang mengalami keterlambatan kemampuan motorik, bahkan enggan bicara. Tapi begitu jenius. Amato, benar-benar terpukul.
Sang istri, terus menyemangati, ia mengatakan harapan-harapan, agar Amato tidak terpuruk dalam fakta. Agar sang suami menerima keterbatasan anaknya, sepenuh hati.
Tentu saja Amato menyayangi Taufan. Siapa yang tidak? Anak itu begitu menggemaskan, mata birunya selalu bersinar, pipinya tembam, rambutnya begitu lembut dan tebal, begitu periang, meski tidak merespon siapapun.
Lihatlah Amato yang menangis memeluk Taufan yang tidak mengerti apapun, menyesali banyak hal yang ia lewatkan bersama Taufan.
Bahwa buah hatinya, tumbuh secepat ini.
Karena waktu, tidak berhenti. Untuk Amato.
“Kenapa Taufan harus sekolah dirumah?” itu pertanyaan Halilintar. Gempa yang dibelakangnya juga mengangguk, saat kelas 2, mendadak Taufan tidak bersama mereka lagi. Heran, tentu. Mereka bersama-sama terus, tidak bisa dipisah. Meski jika disatukan yang ada berantem bawaannya.
Amato tersenyum getir. “Saudara kalian, itu spesial!”
Apa yang salah?
Amato tidak bisa mengerti perasaannya sendiri. Ia memang menyayangi anak-anaknya, tapi.. Kenapa ia, ingin menyembunyikan Taufan.. Dari dunia?
Apa perasaan sayangnya kalah oleh rasa malunya?
Sang ayah itu tidak mengerti. Perasaan apa yang terus mengganjal. Apa yang ia lakukan benar? Secara psikis memang, Taufan membutuhkan perhatian khusus untuk pendidikannya. Tapi, apa Amato..
Akan terus mengekang Taufan hingga dewasa?
“Biarkan Taufan masuk SMP, ayah,” itu ucapan sang kakak. Yang berdiri di ruangan kerja ayahnya, menghadap kursi diatas karpet bulu.
“Taufan nggak bakal selamanya sama Hali, nggak bakal selamanya sama Gempa. Taufan butuh teman-teman juga.” logis.
Amato menghela nafas, tangannya melepaskan pena yang ia gunakan untuk mencoreti berbagai dokumen. Mendongak sejenak, kemudian memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
consequence | amato
Teen FictionN AMATO'S :: tentang cinta seorang ayah, untuk anak-anaknya bonus from diseaseries .