V. Waktu Yang Terluka (1)

454 47 14
                                    




Gempa itu anak yang baik. Anak yang berbakti. Anak yang paling “sempurna” di rumah ini.

Iyakah begitu?




Nyatanya ia hanyalah seseorang yang lelah, ia yang selalu mengarahkan saudara-saudaranya. Hingga ia sendiri, telah kehilangan tujuan.

Apa keinginannya?

Kenapa ia membuangnya begitu saja?





Sebagai seorang ayah, Amato tentu ingin suatu hari dia menemani anaknya mencapai prestasi, bangga menunggu nama anaknya terpanggil untuk melangkah menuju panggung penghargaan. Tapi kesibukan yang ia miliki, selalu mengikatnya agar ia tidak pergi.

Untuk permata hatinya sendiri.





Gempa itu anak yang sering mendapatkan janji-janji manis. Yang nyatanya hanyalah ampas di mulut. Tidak lama lagi sepat dan harus dibuang. Tanpa khasiat.

Ya, anak yang sering mendapatkan harapan, kemudian dihempaskan kembali.

Tapi, dengan jiwanya yang masih terombang-ambing, ia selalu mencoba, untuk mempercayai itu, selalu berharap, suatu hari, janji seorang ayah itu.. Akan benar-benar terwujud.

“Ayah pengen, lihat kamu meraih prestasi, tapi nggak usah maksain diri,” itu ucapan datar Amato ketika 3 sulungnya mengunjunginya di perusahaan. Halilintar, yang sudah tidak respect lagi dengan angka angka sekolah, sibuk berkelahi dengan anak-anak sekolah lain, atau Taufan, yang bahkan tidak peduli dengan kertas kertas ujian, sibuk menggambarinya dengan banyak coretan, tapi Gempa.. Ia mendengarkannya penuh debaran. Berharap, suatu hari jika dia berhasil.. Apa ayahnya akan benar benar menepati janjinya?




Maka demi meraihnya, Gempa melakukan apapun. Ia mengikuti berbagai organisasi, mendapatkan semua pujian dari seluruh pihak, meraih prestasi tertinggi, mengikuti berbagai lomba. Semuanya, agar ayahnya datang dan mengusap sendiri kepalanya ketika ia berada di puncak.

Tapi, Amato, berkali-kali.. Tidak menepatinya.

Semester pertama kelas tujuh, ayahnya tidak datang untuk menemani Gempa menerima penghargaan ranking pararel. Hanya menelepon. “Maaf, Gempa, ayah sedang rapat. Ayah janji, Insya Allah berikutnya ayah datang.”



Saat itu sejujurnya Gempa merasa benar-benar kecewa. Ia bahkan hanya menangisi piala menjulang di sudut kamarnya. Apa yang ia harapkan selama ini?

Tapi meski dia tersakiti..



Kenapa ia masih mau berjuang untuk itu?

Gempa tidak tahu. Kenapa ia masih mau berusaha, meraih, sesuatu yang sudah mengecewakannya, berkali-kali.




Begitulah, tahun tahun berikutnya terlewati. Gempa mendapatkan penghargaan siswa terbaik angkatan, sang ayah tetap tidak datang. Hanya kakek mereka yang tersenyum bangga. Hanya Halilintar dan Taufan yang memeluknya bahagia disana.

Tidak ada yang spesial bagi Gempa hari itu.

Tapi ia sudah terlalu jauh melangkah. Ia tak bisa berhenti di tengah-tengah, Gempa adalah seorang yang perfeksionis. Jika ia memulainya, ia tak akan berhenti hingga mencapai garis finish.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

consequence | amato  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang