1

171 30 37
                                    

                                              08 Januari 2023.

"Let's break up."

Suara air mancur memayungi keheningan taman, angin mengusap lembut kelopak bunga, dan aroma berbagai jenis bunga-bunga taman berlomba menciptakan kesan romantis. Namun, pesona itu sirna di hadapan Badai Oktora dan Almara Galia Lifa, pasangan yang kini terjebak dalam kegelapan hubungan yang berada di ujung tanduk. Bahkan cahaya matahari pun tak mampu menerangi kegelapan di hati mereka.

Kata-kata putus cinta Badai menggema, dilontarkan dengan wajah tanpa ekspresi, seolah telah merencanakannya sebelumnya. Almara, gadis berkacamata dengan frame hitam oval, membuka mulut untuk bertanya "Kenapa?" namun segera menutupnya kembali, menyadari bahwa pertanyaan itu takkan mengubah kenyataan pahit. Tatapan cinta Badai telah berubah menjadi kekosongan, tanpa bekas cinta. Almara, meski takut, dia sudah bersiap untuk kata-kata menyakitkan itu.

Dia tersenyum kecut, tahu bahwa laki-laki yang sangat dicintainya telah melupakan dirinya. "Begitu," hening. Suara air mancur dan angin yang lembut menjadi saksi kehancuran cinta mereka. Lalu Almara melanjutkan.

"Okay. Semoga kamu bahagia, Badai." Dengan langkah yang awalnya pelan, Almara berbalik dan melangkah pergi dengan cepat, lari dari kenyataan yang tak bisa dia terima.

Suara air mancur menjadi teman setia, menyertainya dalam langkah cepat Almara. Air mata mengalir tanpa tahan di pipinya, dan kacamata hitamnya menjadi saksi bisu dari kesedihan yang melanda. Seperti namanya, Taman Serenity Bloom, tempat pertemuan mereka yang penuh kedamaian. Di sanalah mereka berkenalan, di sanalah cinta mereka tumbuh, dan di sanalah mereka menjadi satu sebagai pasangan kekasih. Almara berharap taman ini akan kembali menjadi penyelamat hubungan mereka, seperti yang terjadi sebelumnya.

Namun, harapannya pupus saat Taman Serenity Bloom menjadi saksi bisu dari akhir kisah cinta mereka. Almara mengira Badai akan meminta maaf, dan mereka akan menyatukan hati mereka kembali, tetapi taman yang mereka kenal sebagai saksi awal cinta justru menjadi saksi dari akhir tragis hubungan mereka.

Seiring langkah Almara meninggalkan taman, suasana damai dan mekar itu hanya meninggalkan bayangan yang kontras dengan realitas pahit. Suasana yang tadinya dipenuhi keindahan, sekarang menjadi puing-puing kenangan yang terluka. Seperti bunga-bunga yang layu di Taman Serenity Bloom, begitu juga dengan cinta mereka yang kini telah pudar.

                                        .....

Hening meliputi ruangan, hanya diselingi gemuruh kipas yang berdegup tak teratur karena kotoran yang menempel. Suara tangisan wanita memecah kesunyian, memancar dari Almara Galia Lifa. Gadis itu baru saja dihadapkan pada kenyataan pahit—diputuskan oleh pacarnya, tanpa persetujuannya. Ya, sepenuhnya sepihak. Seandainya Almara berani, Almara sangat ingin berteriak, melontarkan makian ke arah sang kekasih, membawa-bawa kebaikan yang telah ia persembahkan sepanjang hubungan mereka. Namun, keterbatasan dirinya membawa Almara hanya kepada tangisan di dalam kamar—penyesalan menghantui setiap kata yang terlontar. Mengapa dengan mudahnya Almara membiarkan—menerima lembaran hubungan yang mereka bina berakhir? Ini tak adil, pikirnya.

Dalam keheningan tersebut, ruangan menjadi saksi bisu atas keputusan yang menyakitkan ini. Tangisan Almara, seperti melodi sedih yang melukiskan kepedihan hatinya yang merayap ke setiap sudut ruang. Sementara kipas yang seharusnya memberikan kesejukan, malah bergemuruh tak beraturan, seakan mencerminkan kekacauan emosional yang tengah memenuhi hati Almara.

Biasanya, dalam kesehariannya, ketika Almara dihantui masalah hidup, langkah pertamanya adalah menelpon Badai. Ia meminta Badai untuk bertemu, menemukan kenyamanan di bahunya, dan mengalirkan air mata yang meluncur tanpa henti. Namun, ironisnya, kini peran itu terbalik. Pria yang sebelumnya menjadi penopangnya, sekarang menjadi penyebab kepedihannya.

Berkali-kali, Almara memukul bantal putihnya dengan kebrutalan yang mencerminkan kekesalannya. "SIALAN!" seruannya terdengar seperti badai yang melanda kamar, memecah keheningan siang hari.

Tangisannya bercampur dengan pertanyaan yang meluncur tanpa henti. "Apa yang kurang dari gue? Kenapa Badai..." gumamnya, suaranya hampir lenyap dalam keheningan ruangan.

Percayalah, gadis yang tak mudah menangis ini kini meneteskan air mata hanya karena seorang lelaki. Ya, Badai Oktora. Dia selalu merasakan magnetisme Badai dalam setiap detail kehidupannya—jika kekasihnya bahagia, Almara turut merasakannya. Jika Badai sedih, Almara pun terhanyut dalam kesedihan yang sama. Namun, nyatanya sekarang, dia terpaku dalam kesedihan sendirian, dan Badai entah bagaimana di luar sana—apakah dia juga menangisi hubungan mereka yang berakhir? entahlah, tapi itu tidak mungkin—pikir Almara.

"Aneh."

"Gue baik kok. Gue gak pernah bentak dia, gak pernah jadi cewek diluar sana yang ngomong 'terserah' kalau makan, beli baju, dll!"

Perasaan Almara seperti sehelai benang yang terurai di hembusan angin, tanpa kepastian dan tujuan yang jelas. Hanya bayangan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dan Badai, sekali lagi, menjadi elemen misterius yang tak terjangkau. Mungkin Badai adalah pusat badai dalam hati Almara, yang melanda tanpa aba-aba, membiarkan kerinduan dan pertanyaan tak terjawab menggelayut di antara harap dan kekecewaan.

Almara terus memukul bantal putihnya, sebagai bentuk pelepasan dari kehancuran yang menimpanya. Dalam ketidakpastian dan kehampaan, dia mencoba memahami apa yang telah terjadi.

"Kenapa Badai, akhir-akhir ini berubah?" pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban yang pasti.

"Sejak kapan kita mulai renggang?" Almara berbicara kepada dirinya sendiri, mencari jawaban di tengah hening yang semakin menyiksa. Hatinya terasa seperti pecahan kaca yang tak bisa dipulihkan.

Dia mencoba mencari alasan, mencari kelemahannya. "Salah gue apa?" pertanyaan itu menggambarkan keputusasaan Almara, yang mencari jawaban di tengah pusaran ketidakpastian.

"Kenapa, kenapa..." suaranya terhenti, terperangkap dalam keputusasaan yang semakin menghantui.

Almara, di dalam keputusasaannya, benar-benar terjebak dalam labirin tanpa arah yang pasti. Pilihan-pilihan yang sebelumnya tampak seperti peta hidupnya, kini menjadi kabut tebal yang menyelimuti langkahnya. Mungkin keluarganya bisa menjadi pelabuhan, tapi Almara menolak menghadapinya, yakin bahwa gelak tawa akan memenuhi sudut-sudut rumah ketika dia mengungkapkan bahwa dia tengah menangisi seorang laki-laki.

Beberapa menit berlalu, namun tangis Almara belum juga reda. Gadis yang tak mudah menangis ini sekarang terpuruk dalam kesedihan yang tak terkendali. Dia melihat ke masa depan yang tidak lagi jelas, kehilangan arah setelah kepergian Badai.

Tiba-tiba, dalam kilatan pikirannya, Almara teringat pada dua temannya, Kiya dan Keisha. "Ah... iya, bocah-bocah itu!" Almara mencari handphonenya dengan mata yang masih berkabut oleh air mata—kemudian menyadari pandangannya yang buram dan beralih mengenakan kacamatanya.

Jari-jemari yang berurat, seperti tangan laki-laki, mengetuk layar ponsel di grup yang bernama—Manusia Polos.

Keisha langsung merespons, sementara butuh beberapa detik agar Kiya menjawab panggilan. "Apaan?" terdengar suara Kiya yang sedang menguap, menandakan dia baru bangun tidur.

Mendengar suara Kiya, Almara tak dapat menahan tangisnya. "KIYAAAAA, MASA GUE DIPUTUSIN!!!"

Tangisan Almara berhasil mengusir kantuk Kiya sekejab. Gadis itu refleks menjauhkan handphonenya dari telinganya, terkejut. "Sialan lu, bisa budek gue!"

Tangisan Almara kembali menghiasi percakapan. "G-gue.. gak mau tahu.. pokoknya gue mau kita ketemu. Sekarang!!!" ucapnya dengan nada tinggi.

Kiya menghela napas. Apa boleh buat—pikirnya. "Fine, dimana?"

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang