2

119 29 18
                                    

                                              09 Januari 2023.

Di bawah terik mentari yang membara, Almara Galia Lifa merasakan panasnya seakan sinar matahari itu adalah panci setan yang menyengat kulitnya. Tangan kanannya yang terhormat pada bendera merah putih seolah menjadi pancaran energi panas yang tak terhingga.

"Sial banget gue..." gerutunya, sambil menatap langit seolah-olah berharap hujan es bisa menyelamatkannya.

                                        .....

Suasana kelas hening, seolah waktu sendiri berhenti sejenak, tak seperti biasanya yang ramai dengan gelak tawa siswa. Di depan, seorang guru matematika yang terkenal galak sedang menjelaskan, memancarkan aura menakutkan hingga membuat para murid duduk tegak kaku, seolah dihadapkan pada raja iblis.

Namun, satu-satunya siswi yang berani menentang arus—Almara, dengan kepala yang rebah dimeja, tertidur dengan nyenyaknya—seolah-olah dirinya seperti ratu yang duduk nyaman di atas singgasana emas.

Guru killer itu—Bu Rita, menatap Almara yang tengah tidur nyenyak dengan sorot mata yang seakan-akan bisa mengeluarkan api. Tapi Almara, dengan nyali setinggi langit, terlelap seperti pahlawan yang berani tidur di tengah medan perang.

Guru matematika itu melirik teman sebangku Almara, yang sedang mencoba membangunkannya dengan hentakan keras. "Almara! Bangun, woi! Ada Bu Rita!!!" serunya dengan kepanikan, namun upaya itu tak membuahkan hasil.

Bu Rita menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk sebuah pertempuran besar. Tanpa ragu, ia melemparkan penghapus papan tulis berwarna biru dengan kekuatan yang seakan-akan dapat merobohkan benteng terkuat di dunia, mengenai kepala Almara.

"Ouch!" serentak, teman-teman sekelasnya juga ikut meringis, seolah-olah mereka yang menjadi sasaran lemparan tersebut.

"Uhh..." mendadak terasa seolah lemparan itu mengguncang dunia, berhasil membangunkan Almara dari tidurnya, meskipun sebelumnya teman sebangkunya sudah berusaha membangunkan dia dengan kegaduhan yang luar biasa.

"SIAPA SIH ANJIR!?"

Seakan alam semesta sendiri terkejut, Almara spontan berteriak. Sungguh, seperti mimpi indah yang tiba-tiba diinjak-injak oleh ribuan gajah galak. Apakah wajar saat kita tengah melayang-layang dalam mimpi manis, seseorang melempar sekotak alat tulis seolah ingin mengguncang benua? Ya, itu tidak wajar. Tapi setidaknya setelah Almara melihat siapa pelakunya.

"Eh... I-ibu toh?," desis almara dengan senyum yang mengandung getaran kecil. Percayalah, detak jantungnya berlomba seperti kilat yang menyambar di kejauhan, mengingatkan pada saat dia dikejar anjing di masa kecilnya.

Bu Rita sekali lagi menarik napas, helaan napas yang seakan-akan membawa berbagai cerita panjang dalam setiap tarikan napasnya. Lalu, senyum lembut menyelinap di wajahnya.

"Almara..."

"KELUAR!!!!!"

                                        .....

Dengan singkat, itulah alasan mengapa Almara berhadapan dengan terik matahari siang yang membara hari ini, seolah-olah matahari sendiri menyaksikan dramanya dengan intensitas yang tak terlupakan.

Almara, menghela napas panjang, penuh rasa capai, seolah mengangkut beban seluruh jagat. Dia menunduk, melihat tanah berwarna coklat yang dia injak, seakan-akan itu adalah beban dunia yang tak terhingga. Perlahan, tangan kanannya yang hormat pada bendera negaranya terjatuh dengan berat, seperti melambangkan jatuhnya kehormatan dan kebahagiaan dalam satu gerakan.

"Badai..."

Ucapnya, rindu pada kekasihnya—lebih tepatnya mantan kekasih—berdengung seakan memenuhi seluruh ruang kosong di hatinya. "Kabar dia gimana ya?, udah makan belum?" Almara berusaha mengungkapkan rindu dengan nada yang mencoba menyamarkan kepedihan.

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang