4

86 29 15
                                    

                                              30 Januari 2023.

Dalam kesunyian, alunan instrumen menciptakan simfoni indah, sementara suara wanita yang mempersembahkan lagu "Mengejar Mimpi - Yovie & Nuno" membentuk melodi yang meresap ke dalam jiwa. Pada detik 01:58, sang gadis melantunkan not-not tinggi seakan mengukir melodi mimpi:

"Meskipun engkau telah pergi,"

"Mungkin takkan, kembali,"

"Aku di sini,"

"Tetap di sini, sayangku,"

"Aku masih rindu padamu,"

"Aku masih sayang padamu,"

"Meski kini cintamu bukan aku..."

Melanjutkan lirik lagu itu, sang gadis membawa lantunan suara yang seolah-olah membangunkan mimpi terdalam. Meskipun kemampuan vokalnya tidak melintasi batas keahlian, bahkan jika ada yang mendengar nyanyiannya, mereka akan reflek menutup telinga mereka. Namun sekarang, seperti sihir yang tak terduga, suaranya membelai telinga dengan lembut. Ekspresi dramatisnya, seakan-akan dia adalah wanita yang paling tersakiti di dunia.

Mungkin itu karena lagunya seperti menyatu pada dirinya, lirik lagu yang sangat menggamarkan suara hati Almara Galia Lifa sekarang.

Pada alunan lirik terakhir, seperti biasa, ekspresi nya tidak kalah dramatis. Dan di momen itu, tepukan tangan menggema seperti badai setelah keheningan panjang, menciptakan dentuman yang menggetarkan ruang, jelas membuat Almara cukup terkejut. Ia reflek berdiri dari tempat duduknya, memandang pria dihadapannya yang sekarang sedang bertepuk tangan.

"Keren," seru pria tinggi itu, senyumannya mengandung keajaiban seolah seluruh alam semesta ikut bertepuk tangan.

"Siapa...?" gumam Almara, matanya mencari pemahaman.

Lelaki itu mengulur senyumnya. "Daniell, Daniell Putra Dirgantara."

"Kamu, Almara, kan?" ucapnya memastikan, senyumannya manis bak madu yang menetes.

"Eh? I-iya..." Jawab Almara dengan kebingungan, "Tsk, gue kenapa? Kok gugup gini," bisiknya pada dirinya sendiri, heran.

Pria itu tanpa kenal ragu menetap di samping tempat duduk Almara sebelumnya, meliriknya dengan senyum setinggi langit. "Kenapa? Sini duduk," serunya, menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya, tanda Daniell memintanya untuk bergabung.

Almara tanpa ragu duduk, canggung. Suasana menjadi begitu canggung, seperti bunga malu di taman hatinya. Itu adalah ketidaknyamanan yang menggelitik setiap serat perasaannya.

"Seperti biasa ruang musik ini sepi, ya?" kata-kata tiba-tiba itu melonjak melewati keheningan, seperti petir menyambar langit yang sepi.

"Ahh... Iya," jawab Almara, tentu saja sepi. Sepi bagaikan samudra dalam hatinya yang membutuhkan waktu sendiri. Jika tidak, Almara tidak akan datang ke tempat ini. Dia butuh suasana sepi untuk galau, dan kebetulan ada ruangan yang jarang didatangi murid, yaitu ruang musik. Saat memasuki ruang musik, tanpa sadar Almara terbawa suasana, seperti ombak kegalauan yang memukul pantai hatinya, ia mulai bernyanyi.

Laki-laki itu meraih alat musik, yaitu gitar. "Eh? Mau main gitar kah?," ucap Almara, heran sekaligus penasaran. Dia tidak pernah tahu cara bermain gitar, dan saat ada yang bisa memainkan gitar, mata hitam pekatnya selalu bersinar, berkilau seperti permata yang menyala di kegelapan, excited.

Daniell terkekeh. "Lucunya," ujarnya dalam hati, seolah melihat kilatan mata Almara yang seperti bintang yang tak sabar bersinar.

"Iya. Dengarkan, ya?" ucapnya, menatap mata hitam pekat Almara, itu cukup imut untuknya, sangat menggemaskan.

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang