3

87 29 11
                                    

                                              09 Januari 2023.

Keisha Shifa Ananda menghembuskan napasnya, seolah-olah mengusir lelah yang menyelinap ke seluruh tubuhnya. Saat ini, dia memikul beban buku guru, seakan-akan menjadi kurir ilmu yang dimintai bantuan oleh sang guru untuk menyampaikan harta intelektualnya.

Dengan langkah-langkahnya yang seperti melambat, Keisha memasuki ruang guru, menempatkan buku-buku itu dengan kelembutan yang seakan-akan menyusun mahakarya. Suara lembut sang guru memecah keheningan, "Makasih ya Keisha," katanya, senyumnya berkilau seperti sinar mentari yang menyapa senja.

"Iya Bu sama-sama, Keisha pamit," ucap Keisha, memberikan penghormatan yang tulus pada guru yang telah mempercayakan tugas padanya. Setelah sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk penghargaan, Keisha memulai perjalanannya meninggalkan ruang guru.

Lapar, itu seakan menggerogoti lambungnya dengan kelaparan yang setara dengan seribu serigala lapar. Meskipun bel istirahat memanggil dengan deringnya yang menggiurkan, Keisha, bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa, memilih untuk membantu guru daripada perut laparnya yang memohon-mohon untuk diisi. Tidak bisa menolak permintaan gurunya itu, ia menerima permintaan tolong itu seakan-akan menggendong beban dunia, meskipun perutnya merengek meminta pemberian makanan seperti langit yang menuntut hujan.

Dengan menghela napas, Keisha merenung, "Pasti Kiya masih tidur." Gumamnya pada diri sendiri, seolah-olah temannya, Kiya adalah pemegang gelar dunia tidur yang tak tertandingi.

Dia bergegas menuju kantin tanpa keraguan, pikirannya terbayang akan kenikmatan risol berisi rempah ayam yang selalu menjadi favoritnya. Namun, ketika tiba di sana, Keisha terkejut melihat antrean yang panjangnya seolah-olah melampaui batas kewajaran.

"Ahh... ngantri lagi," keluh Keisha dengan ekspresi malas yang terpahat di wajahnya. Dia merasa seperti berada dalam lautan waktu, di mana setiap detik kehadirannya di antrean adalah seabad. Seakan-akan semua orang di sana memiliki hasrat makan yang tak terbendung, membuat antrean terasa sepanjang jalan yang tak berujung.

Matanya menjelajahi tempat duduk yang tampaknya telah diambil oleh setiap siswa, membuatnya merasa seakan-akan berada di tengah hutan keramaian tanpa titik terang tempat duduk yang kosong, hingga pada akhirnya dia harus berdiri dengan sabar, seolah menantikan hujan kursi yang tak kunjung reda.

"Aria, tadi kelas lu ulangan harian kan?"

"Spoiler, dong! Susah gak?," Keisha tidak sengaja mencuri percakapan, menyelipkan dirinya di antara percakapan gadis-gadis cantik yang tengah membahas ujian harian.

"Ehh, gua lumayan payah sama sejarah jadi... Menurut gua susah haha," Jawab gadis bernama Aria itu dengan ekspresi wajah yang seakan-akan merasakan beban dunia berada di pundaknya.

"Dihh, lu ngomong gitu tapi hasil ulangan lu di atas 90 terus~"

"Wkwk biasalah, merendah untuk meroket dia,"

Tawaan mengalun seperti melodi manis dari sekelompok gadis populer yang menjadi pusat perhatian, menciptakan harmoni yang membuat Keisha tak bisa mengabaikannya.

"Tapi suer, kali ini susah banget!" Ucap Aria, berusaha meyakinkan seluruh dunia dengan ekspresi dramatis.

"Ra jangan gitu, kalau orang kayak lu ngomong susah banget, bulu kuduk gue jadi berdiri nih..." Ujar salah satu gadis dengan ekspresi seperti melihat setan di hadapannya, yang membuat tawa semakin berkumandang.

Aria ikut tertawa, namun tiba-tiba tawanya memudar. Matanya menangkap pandangan Keisha yang seolah menyiratkan pertanyaan tanpa kata.

Awalnya Aria diam, lalu dia memberikan senyuman manis kepada Keisha. Keisha yang melihat itu, reflek mengalihkan pandangannya, dia malu, seolah-olah ketahuan mencuri oleh tuan rumah.

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang