5

73 27 23
                                    

                                              30 Januari 2023.

Hembusan napas Kiya Alyana melanda kamar, seolah menyapu segala semangat yang tersisa. Wajahnya dipenuhi lesu, seakan-akan dunia ini sendiri turut merasakannya.

Terbaring di atas kasur dengan sprei putih polos, Kiya merasa sepertinya ia terdampar di lautan kebosanan yang tak berujung. Tembok berwarna hijau tosca kamar yang awalnya memberikan kesan segar, kini menjadi saksi bisu kejenuhannya. Kanvas-kanvas berisi lukisan karyanya sendiri dan photocard teratur di meja belajarnya tak mampu lagi memberikan semangat yang dulu.

Meja belajar yang seharusnya dipenuhi oleh buku-buku pelajaran, kini menjadi ladang subur bagi deretan album idol K-pop kesayangannya. Itu bukan lagi meja belajar, melainkan panggung bagi pertunjukan album-album yang mengisi hari-harinya, saksi bisu obsesinya pada dunia K-pop.

Berguling-guling di atas kasur putih, Kiya merasa seakan-akan terperosok ke dalam lubang kebosanan yang tak berujung. Ini bukan sekadar rasa bosan biasa, ini adalah kebosanan setingkat dewa yang menguasai setiap serat keberadaannya.

"Bosen," serunya, namun suaranya tak lebih dari sebuah desiran angin yang hilang begitu saja.

"Nonton drakor? Lagi males, gak mood." ucapnya, lagi-lagi menghela napas.

Tiba-tiba, bayangan pria di sekolah merebak di ingatan Kiya Alyana, menyelinap seperti bayangan yang begitu dekat namun tak terdefinisikan.

"Siapa ya?, mirip banget..."

Hening seolah merajai kepalanya, pikirannya menjadi lautan kosong yang memancing keheningan.

Namun, seperti petir yang menyambar tanpa aba-aba, tawa menggelitik kenangan menyenangkan merasuki hatinya. Pria itu, yang pernah menjadi pilar dalam dunianya, muncul dalam ingatannya.

"Gak mirip, tapi mirip." Gumamnya, kata-katanya seperti menyusup seperti angin yang menggoda daun-daun kering, kembali sunyi.

"Haha apa sih,"

Hening menyatu dengan suara kipas yang setia, seakan-akan mendukung panggung kecil kenangan di dalam pikirannya.

"Kangen..."

"Kabarnya gimana ya?"

"Sekarang dia lagi ngapain?"

"Pengen lihat dia deh, udah lama banget..." Gumamnya, dan dalam kerinduannya, dadanya seperti menjadi gudang kenangan yang terisi penuh, setiap detik di antara mereka seperti bertambah berat, sangat sesak.

Seolah-olah, bayangan pria itu membentuk lukisan di pikirannya, setiap detail seperti kuas yang melukis kenangan di palet hatinya.

Kiya perlahan mulai merasakan bahwa dirinya menyedihkan, merindukan sosok yang telah menjatuhkannya ke jurang kekecewaan.

"Haha, kalau begini apa bedanya gue sama Almara?," desisnya, senyum pahit melukis luka-luka di bibirnya.

Guling disamping kirinya menjadi teman, dipeluknya erat sebagai pengganti pelukan yang tak kunjung datang. Matanya terdiam dalam lamunan yang semakin gelap.

"Brengsek, kangen banget."

"Apa ke rumah dia aja ya? Orang gang kita juga ga terlalu jauh." Tapi imajinasinya disadarkan oleh suara logika yang berbisik pelan di kepalanya. Dia menggeleng, seakan-akan memukul dirinya sendiri dari kebodohannya.

"Gila lu Kiya? Ya kali anjir," Helaan napasnya seperti badai yang merobek keheningan, mengungkapkan kekacauan batin yang merajalela.

Hening, kembali hening.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang