#Sabar

20 3 0
                                    

Assalamu'alaikum...
Aku kembali, Enjoy yaa...
Jangan lupa vote dan komennya.

⚠️ Cerita hanya fiktif belaka ⚠️

🌷🌷🌷

Lima bulan berlalu sejak kejadian malam itu, masih tak ada perubahan, mas Agham masih dingin, meski tak sedingin sebelumnya, dia juga belum memberi keputusan tentang siapa yang dipilihnya.

Hubungan kita tidak ada kemajuan, masih tetap stuck disituasi yang sama setiap harinya. Selama ini aku hanya menjalankan tugas sebagai istri atas dasar menghargai dan hurmat pada Abah karena beliau adalah guru Abiku.

Aku menyiapkan segala keperluan, dan berbakti sebagaimana mestinya.

Lima bulan ini aku lebih pantas disebut mbak ndalem, alih-alih istri mas Agham.

Setiap malam aku merenung, dan selalu tertidur setelahnya, tapi malam ini berbeda. Hatiku sangat sakit karena secara tak sengaja mendengar mas Agham membandingkan diriku dengan ning Mimah saat beliau berbicara lewat telepon, entah dengan siapa.

"Beda banget lah, Mimah itu sudah jelas jos karena lulusan Tarim, Qur'annya juga lanyah. Alna masih harus setor nang umik, kalau mau ngajar juga masih perlu muthola'ah." 

Ucapan mas Agham masih terngiang jelas ditelingaku, memang salah kalau aku minta disimak umi Himmah agar Qur'anku lebih lanyah lagi?

Memang salah kalau aku muthola'ah  sebelum memberi materi diniyyah?

Aku memang dhobitulkitab, berbeda dengan ning Mimah dan mas Agham yang mungkin sudah dhobitusshodri, satu-satunya kelebihan yang bisa aku pamerkan hanya kelezatan masakanku, berbeda dengan ning Mimah yang mungkin punya seribu kelebihan.

Malam ini aku berbaring diatas ranjang kamar tamu, mas Agham mungkin tak peduli kenapa aku meninggalkan kamar.

Aku tak berhasil memejamkan mata barang sedikitpun, aku masih menangis dengan perasaan sesak bercampur prihatin pada diri sendiri. Aku beberapa kali juga mencoba menenangkan diri, tapi semakin kucoba semakin deras mataku menumpahkan air mata.

Sampai kurasa sedikit membaik, aku beranjak untuk mengambil mukenah dikamar. Mas Agham pasti sudah lelap walaupun istrinya tengah terisak karena ulahnya.

Benar dugaanku, saat kubuka pintu, terlihat jelas mas Agham nampak sangat lelap. Ini baru hampir pukul satu, mas Agham tidak salah jika pulas. Tapi anehnya tidur pulasnya malah membuatku semakin merasa sesak, egoku meronta berucap ngawur sebab jengkel, bisa-bisanya mas Agham tidur pulas sementara aku tidak sedikitpun bisa memjamkan mata.

Setelah mengambil perlengkapan shalat, aku bergegas mengambil wudhu kemudian menuju masjid Al-Hikam putri, aku melakukan salat malam dengan rapalan do'a disujud panjang.

Area masjid terlihat sunyi karena memang sudah pukul satu, para santri pasti sudah tidur, hanya ada beberapa santri yang masih terjaga karena menyiapkan ziyadah untuk besok, suara sayup-sayup santri mengaji inilah yang perlahan membuat hatiku tenang.

Tiba-tiba aku rindu masa-masa dipondok, masa-masa dimana aku hanya memikirkan belajar, guyon, mangan-turu.

Saat remajaku tidak banyak yang kupikirkan, aku hanya fokus belajar dan menghafal nadzam, sesekali bersenda gurau bersama teman-teman sesama santri, makan bareng, tidur bareng, sesekali juga sumpek bukan karena pelajaran yang tidak nyantol tapi karena telat kiriman.

Masa-masa dipondok yang paling indah, aku yang saat itu sangat enjoy dengan kehidupan sebagai santri biasa dan tidak pernah berfikir akan menghafal Al-quran, apalagi sampai jadi menantu dari kyai besar.

AlghanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang