CHAPTER 1 - HER NAME

497 72 34
                                    


"CUUUT!!!"

Gadis itu menarik napas panjang sebelum menjejakkan kaki ke aspal, bangkit dan berlari sekencang-kencangnya dari sana. Ia tidak memedulikan sang sutradara yang berteriak pakai toa untuk memanggilnya agar kembali, ia terus berlari ke arah berlawanan. Peluh mengalir deras di pelipisnya, tapi ia tak sedikitpun menoleh.

Beratus-ratus meter kaki jenjang itu membawanya pergi dari tempat ia seharusnya berada.

Hingga suara jeritan familier memohon-mohon agar ia kembali, gadis itu baru melambatkan larinya, dan menengok ke arah datangnya suara. Pemuda agak tambun yang membawa payung di atas kepalanya itu masih berusaha mengejar. Langkahnya yang tidak begitu panjang, masih mencoba memangkas jarak, payung yang terbuka itu bisa terbang atau minimal terbalik, kalau dia tidak segera menutupnya. Sang gadis pun memutuskan untuk memberinya kesempatan. Ia berhenti berlari, mengatur napasnya sembari melempar pandang ke arah lain.

"Teteeeh!" seru si pemuda dengan napas tersengal-sengal. "Jangan lari atuh, Teteh! Mau ke mana?? Kan syutingnya teh di sana!" Tangannya menunjuk ke arah kepulan asap yang berasal dari mobil hancur. Jauh di ujung lain jalan.

"Sieun, ih! (Takut, ih!) Kalo Teteh kebakar gimana, Bud??"

"Moal, atuh, Teteh! (Enggak, lah, Teteh!)" sambar Budi, terengah-engah sambil memegangi dadanya, seolah takut jantungnya pindah tempat.

Pemuda itu buru-buru mendekati sang aktris dan memayungi puncak kepalanya dengan payung yang dibawanya susah payah. Rambut kecoklatan itu berantakan, makeup luntur dan butuh banyak touch up. Namun sepertinya prioritas utama sang manajer bukan itu, melainkan menenangkan bosnya yang masih mengerutkan wajahnya menahan tangis. Dan benar saja, butiran bening mengalir sedikit demi sedikit dari ujung mata serupa almond itu. Ia berusaha menutupi wajah dengan tangannya, tapi ternyata telapak tangannya terluka, hasil gesekan dengan aspal ketika ia merangkak keluar dari mobil yang sudah di-setting meledak. Gadis itu bahkan baru tersadar akan luka baru tersebut, dan menangis lebih keras melihat darah yang mengering di pinggiran tangannya sendiri.

"Ya Gusti, cari duit teh gini pisaaan!" raungnya sambil menyeka air mata dengan tangannya yang kotor. Alhasil menyisakan garis hitam di wajah cantiknya.

Budi dengan sigap mengeluarkan sapu tangan dari saku celana, dan menyeka air mata sang aktris. "Cup, cup, Teteh sabar, Teteh kuat! Nggak papa, nanti Budi beliin minyak tawon biar cepet sembuh, ya, Teh?"

***

Nicole menjerit saat melihat headline tabloid gosip di gawainya. Ia sudah mengangkat benda di tangannya itu tinggi-tinggi, tapi buru-buru menurunkannya lagi, lalu mengelus-ngelusnya seperti kucing.

Budi yang menyaksikan hal tersebut dari spion hanya menipiskan bibir yang dari sananya sudah tipis. Helaan napasnya kembali normal, dan fokus Budi kembali ke jalanan yang macet. Seolah pemandangan di jok belakang itu terjadi bukan sekali dua kali, Budi tampak tidak terganggu. "Kenapa, Teh? Gosip dari lokasi kemaren?" tanya Budi sambil lalu.

Gadis di jok belakang mendelik ke kaca spion, dan menjawab, "Ho'oh. Sumpah parah banget sih, masa Teteh dibilang tukang kabur dari lokasi syuting! Padahal kamu tahu kan, Bud? Aku tuh trauma sama apiiii," geramnya sambil mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya.

Budi mengangguk, "Iya Teh, paham. Mereka mah emang gitu, suka memutarbalikkan fakta," hiburnya. "Udah nggak usah dibaca, Teh! Bisi bikin badmood! Biarin aja, cuma clickbait, jangan dikasih panggung."

"Tapi likes-nya seribu dua ratus, anjaaay!" Ia mendongak, seolah berteriak pada langit-langit mobil akan membuat perasaannya lebih baik.

"Yaudah nggak papa, Teh! Engagement-nya bagus, nama Teteh jadinya relevan! Ambil positifnya aja yuk, Teh!" Budi tersenyum cerah sambil menoleh sekilas.

ExpiredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang