CHAPTER 4 - HER WITNESS

191 28 27
                                    


Nicole berusaha keras menjaga fokusnya sepanjang acara, hingga pemuda bernama Dadang naik ke panggung, langsung dalam hati berpantun ria, satu tambah satu sama dengan dua, ingat si Dadang, malunya tiada tara.

Rasanya Nicole ingin mutasi sementara ke planet sebelah. Dia cuma bisa berharap si Dadang-Dadang itu tidak mengenalinya, karena tadi dia belum pakai makeup. Memang Nicole bare face sudah cantik dan parasnya khas sih, ya tapi bukan itu masalahnya sekarang! Bisa gawat kalau si Dadang itu mengenalinya, lalu kisah memalukan itu diunggah ke media sosial (siapa tahu followers si Dadang itu ribuan ekor). Nicole pusing duluan membayangkan tajuk apalagi yang akan digagas si admin Lambe Gerah. "Artis inisial N muntah sembarangan!" itu masih mending, bagaimana kalau lebih gila, "Artis inisial N diduga melakukan pelecehan pada mahasiswa!". Nicole pun memegangi kepalanya, seolah lebih berat daripada batu kali.

"Mampus gue, mampus ..." gumam Nicole saat penutupan acara.

Para juri diminta naik ke panggung untuk foto bersama peserta, dan usai sudah audisi di kota ini. Namun untuk Nicole justru permulaan dari entah misteri apa di depan sana. Ia memilih tempat yang paling tidak menonjol, jauh di pinggir, meski Bang Andro sudah menawarinya untuk di tengah, karena katanya orang cantik pantasnya di tengah. Nicole menolaknya dengan tawa renyah, memberi alasan para pesertalah yang seharusnya di tengah dan jadi bintang utama.

"Yang depan boleh ada yang jongkok, ada yang duduk biar kebagian semuanya!" seru fotografer yang mengarahkan. Beberapa peserta pun bertukar tempat agar semua bisa tampak bagus di frame. Nicole tampak tegang di ujung, dan tak bergerak sedikitpun, ia tak peduli seandainya wajahnya tak tertangkap kamera, malah bagus.

"Teh, udah sembuh?" sapa seseorang dari sisi kiri Nicole. Suara halus agak mendayu itu sedikit familier, tapi Nicole terus menatap ke depan.

Nicole mengangguk pelan sebagai jawaban, dan tersenyum ke arah kamera, karena fotografer sudah menghitung mundur. Begitu lampu blitz selesai berpendar, barulah Nicole menoleh ke kirinya.

Seolah ditampar angin, Nicole membelalak, dan berjengit. "An–" umpatannya tertahan di lidah. Rahangnya mengeras, tangannya refleks menutupi bibirnya.

"Eh, ehehe, kok tahu sih saya lagi gak sehat? Emang kelihatan pucet ya?" Nicole buru-buru basa-basi, sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya seperti kipas. Orang yang paling dihindarinya, malah nongol seperti tuyul di sampingnya. Pakai segala tanya kabarnya, padahal lebih bagus kalau dia langsung pergi saja.

Dadang tampak tengok kiri kanan sebelum berbisik malu-malu, "Punten ya saya nanya gini, tapi udah nggak pengin muntah, Teh?"

Bajigur! Nicole ingin mengumpat segala isi Ragunan, tapi tidak bisa. Tidak boleh, ada image yang harus dijaga baik-baik.

"Mu-munnn?" Nicole nyaris tersedak ludah, tak jadi menyelesaikan kata muntah, "Ehhh, nggak dong! Emang saya kelihatan pengin muntah gitu?" Dia mengeluarkan bakat aktingnya yang mumpuni. Pura-pura tolol adalah jalan ninja kali ini.

Dadang yang lebih jangkung sedikit dari Nicole (dengan heels) agak menunduk, dan malah memandanginya lamat-lamat. Mata bulatnya yang bening bagai air mata Cisalak itu tak berkedip. Kulitnya yang putih itu sedikit memerah dari dekat. Nicole merasa jadi amoeba objek penelitian di bawah mikroskop kalau begini caranya.

"Teteh udah kelihatan mendingan dibanding tadi siang," jawab Dadang kemudian. Nadanya lega.

Nicole menyambar, "Emang kita udah pernah ketemu ya?" Meski hati kecilnya menjerit-jerit, "SUDAH, NYAI".

Dadang membulatkan bibirnya, kelihatan menahan kekagetannya. "Oh iya, Teteh mungkin lupa, ya. Nggak apa-apa..." Ia tersenyum, manis betul. "Yang penting Teteh udah mendingan, alhamdulillah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ExpiredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang