1

978 80 4
                                    

Kaki itu berlari sekencang kencangnya, lari dari kejaran orang atau mahluk pembunuh aneh, yang tiba-tiba datang membunuh membabi buta di desanya. Dia terus berlari entah kemana dia hanya menangis setiap langkahnya, tangan kecil itu terus menghapus air mata yang terus mengalir dari pipinya.

Ayah ibu aku harus kemana? tangisnya tak terbendung Setiap langkahnya, dengan suara tangis yang coba di tahanya. Takut dia takut jika mahluk itu mengejarnya karena mendengar suaranya.

Tanpa alas kaki dia terus berlari
Gadis berumur 14 tahun itu menahan nafas sesak sekali dia tidak berhenti berlari, dia lelah sangat lelah.

Hingga kaki kecilnya tersandung membuat wajahnya menghantam tanah, dia meringis menahan sakit.

"Ukh..sakitnya."Hinata itulah nama gadis itu, yang berlari menjauh dari dari desanya yang telah musnah di bantai oleh monster tapi keluarganya ada disana membantunya keluar dari desa yang sudah musnah itu.

Dia mencoba berdiri berlari meski tertatih menyusuri rumput yang setinggi melebihi dirinya yang mungil.

Rasa haus dan lapar menghampirinya dia sudah berjalan jauh dari pagi hingga matahari tenggelam wajahnya mengadah memandang bulan yang begitu terang."Kemana lagi?"

Dia memilih berjalan hingga dirinya ditempat yang gersang hanya ada satu pohon kering, mendaratkan bokong di tanah menyandarkan punggung pada pohon kering itu nafasnya memburu lelah dia hanya butuh istirahat kelopak mata itu tertutup saat rasa kantuk menghantuinya.

.

.

.

Satu hari desa yang terlihat indah penuh dengan kebersamaan kicauan burung terdengar merdu pagi yang cerah untuk desa 'Rabenda' desa yang banyak di hiasi oleh bunga lavender maka itu desa itu deberi nama 'Rabenda' yang artinya lavender.

Kaki kecil itu melangkah ringan membawa sekeranjang ubi mentah dan dua ikat bunga lavender tangan kecilnya menggengam erat keranjang senyumnya tidak luntur ditiap perjalanan ada saja yang menyapa dan si gadis balas tersenyum.

Sampai di rumah dia berlari masuk." Ibu! Aku membawa ubi dan bunga lavendernya!"

"Jangan lari-lari Hinata nanti kau jatuh." Peringatan lembut dari ibunya membuatnya tertawa dia memberikan keranjang pada ibunya yang langsung di terima oleh ibunya.

"Apa ini ayahmu yang menyuruhmu membawa ini."

"Tidak, ayah sedang melihat tanaman padi di sawah, itu aku mengambilnya bersama Aiko di kebun miliknya." Sang ibu menggeleng mengusap kepala si gadis.

"Baik,sekarang duduk dan makan kau ini sudah bermain dari pagi tadi dan belum makan apapun."

Hinata menuruti sang ibu duduk di depan meja pendek beralas bantal kecil. Sang ibu menyiapkan makanan yang sederhana nasi dan sayur di tambah gorengan singkong.

"Ayah pulang!" Melihat kedua orang yang disayangnya duduk manis menunggunya Hiasi tersenyum senang sungguh kedua perempuan kesayanganya ini harta berharga untuknya.

"Ayah ayo kita makan bersama."

Seruan Hinata di sambut kekehan Hiasi dia ikut bergabung makan bersama di pagi yang cerah ini.

...

Malam ini adalah festival bunga Hinata bersama Aiko berjalan di setiap pasar yang penuh beraneka ragam bunga yang di ubah menjadi hiasan makanan dan minuman , sabun dan kosmetik.

"Aiko lihat pemerah bibir ini kecil sekali."

"Hinata namanya juga pemerah bibir pasti dibuat kecil memangnya bibir orang ada yang besar."

My Husband Is A Monster Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang