🍁 Maple Leaf 🍁
.........
.
.Kala itu malam telah tiba di beranda depan, menyapa Hannah yang tengah mengetuk-mengetuk meja dengan jari-jari mungilnya yang berhiaskan nail art bening bertabur glitter di ujung kuku. Matanya fokus melirik lampu tiang di depan rumah yang sesekali dihinggapi satu dua gumpalan salju. Hannah membayangkan rasa dingin menyenangkan kalau saja sekarang ia berdiri dan menangkap gumpalan putih itu. Meski sangat ingin Hannah sama sekali enggan beranjak dari posisi nyamannya sekarang. Ia justru samar-samar membayangkan dirinya berdiri, berjalan perlahan menuju halaman lalu memutar pelan seraya menengadahkan tangan menangkap salju. Satu senyum nyaman pun berhasil terbit dari wajah cantikya.
Ketika ia masih sibuk berlari dalam fantasi yang diciptakannya beberapa menit lalu, seekor anjing tiba-tiba telah bermain di kakinya membuat Hannah tersentak.
"Hai, Moli." sapanya. "Dimana pemilikmu?" Hannah mengedarkan pandangan mencari Daren yang merupakan pemilik anjing tersebut.
"Hai, honey." Daren terseyum hingga matanya hampir tak terlihat.
Honey, darling, pretty dan panggilan manis lainnya sudah biasa ia dengar dari Daren.
"Kamu tidak berniat membawa Moli ke tempat ice skating, kan?"
"Tidak. Biar ku titip saja di sini. Boleh, kan?"
"Tentu. Ibuku akan senang Cello punya teman malam ini."
Sama seperti pemiliknya, Moli sudah terbiasa bolak balik rumah Daren dan rumah Hannah.
Beep..beep..
Suara klakson mengalihkan perhatian keduanya, jemputan yang mereka tunggu telah tiba, ada Karel di sana.
Moli diserahkan kepada ibunya Hannah, kemudian ketiganya lenyap di antara jalanan kota. Tawa ringan sesekali terdengar, menyambut canda sembari menembus malam.
Pukul 7 malam ketika akhirnya mereka tiba di lokasi. Orang-orang tampak sibuk dengan diri sendiri, beberapa juga ada yang asik bercengkerama. Anak-anak kecil dipandu bermain oleh yang lebih tua, beberapa meringis kesakitan ketika mereka terjatuh. Namun dengan cepat yang tua membantu mereka bangkit, mencoba lagi dengan percaya diri.
Hannah sudah memakai peralatan lengkap, sepatu, helm, kaos tangan dan lainnya. Tapi entah bagaimana tali sepatu yang ia pakai lepas kembali, jadi saat ini dia sedang berusaha untuk mengikatnya dengan susah payah sebab sarung tangan membuatnya sedikit kesulitan.
Ia akhirnya menarik sebelah sarung tangan, kemudian hendak berjongkok kembali saat tiba-tiba Karel datang dan sudah berjongkok di hadapannya membantu mengikat tali sepatu.
Sekian detik Hannah tertegun. Jantungnya kembali berdegup tidak normal seperti beberapa hari lalu. Degupnya makin menggila ketika Karel mengangkat kepala menatap Hannah, mata bertemu mata. Keduanya tersihir pada netra masing-masing. Ia dapati tatapan Karel yang berbeda, tatapan memuja yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Sekali lagi ia rasakan jantungnya berpacu, ketika ucapan Karel kapan lalu lewat di benaknya.
"Bagaimana jika cinta benar-benar hadir diantara kita?"
Di sisi lain, mata Daren bergantian menatap Karel dan Hannah. Sudah 2 kali ia memanggil mereka namun tak satu pun menyahut seakan keberadaannya tak terlihat. Ia menyadari keduanya sedang tenggelam diantara tatapan satu sama lain. Lalu pelan-pelan ia menjauh, meluncur diantara lautan manusia. Ia memutar dengan keras, mengangkat tinggi kakinya bak atlet profesional.
Ia mengingatkan dirinya, sedari awal ia tak pernah berharap apa-apa akan perasaan yang ia punya untuk Hannah. Toh juga semua yang pernah menjadi miliknya, satu persatu selalu pergi, ayahnya, ibunya, Daren tidak pernah diberi kesempatan menggenggam lama apa yang ia sayangi.
Karel dan Hannah mengakhiri sesi tatap-tatapan dengan canggung beberapa saat setelah Daren menjauh. Karel tahu betul jawaban bagi hatinya, sedang Hannah masih terus bertanya-tanya. Demi tidak membuat yang sudah tumbuh dengan utuh menjadi berantakan. Hannah meraih tangan Karel demi meminta bantuan saat keseimbangannya hampir runtuh.
Mereka kini telah mendaratkan kaki di atas lapisan es. Ketiganya memutar berbarengan, sesekali saling mengejar dan berpegangan tangan. Diantara banyak perbedaan hobi, satu-satunya yang menyatukan ketiganya adalah ice skating. Tak ada yang bergerak lambat di sini, kemampuan ketiganya hampir setara.
Ketika akhirnya malam mulai larut, satu persatu meninggalkan tempat beranjak menuju rumah. Tak tekecuali mereka bertiga. Daren yang pertama kali mengusulkan untuk pulang ketika matanya menangkap gumpalan putih yang mulai berjatuhan, salju turun lagi.
Sebuah protes melayang dari mulut Hannah, "Padahal kan masih mau main di sini." Bibirnya sedikit mengerucut sebagai bentuk kekesalan.
"Kapan-kapan lagi ya, pretty." Tangan Daren hendak mengelus kepala Hannah seperti biasanya, namun dengan cepat ditangkis Hannah yang menimbulkan suara agak keras. Tangannya kini menggantung di udara, terasa kosong membuat mulutnya sedikit terbuka karena terkejut.
"M-maaf." Cicit Hannah.
Daren mengerjap beberapa kali, mencerna kejadian barusan. Sedangkan Karel ikut menatap bingung Hannah, responnya sungguh tak biasa. Ia tak percaya Hannah menangkis tangan Daren seperti Daren hendak menamparnya, padahal sebelumnya ia diam-diam saja ketika tangan Daren atau tangannya mendarat dengan lembut di kepala Hannah.
Apa yang salah? Batinnya.
"Maaf." Ucap Hannah lagi. "Aku hanya terkejut." Ia kemudian meraih tangan Daren dan mengusapnya.
"Aku tidak bermaksud. Sakit, ya?"
Daren hanya menggeleng dan Karel tersenyum canggung. Kedua orang ini hanya tidak tahu saja bagiamana Hannah berusaha menutup gugupnya. Kejadian barusan benar-benar di luar kendali, tangannya bergerak begitu saja. Ia masih terkejut dengan reaksi jantungnya ketika bertatapan dengan Karel tadi, jadi ia juga merasa takut jika perlakuan manis Daren ikut menimbulkan efek yang sama. Jantungnya sedang aneh, menurut Hannah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple Leaf (Love & Life)
Roman d'amourKarel, Hannah dan Daren dipertemukan dalam sebuah kisah yang tak sedetikpun mereka sesali. Memeluk sempurna bahagia, duka, tangis dan tawa layaknya memeluk diri sendiri.