i. Aksa, Raya, Prajna

191 11 2
                                    

Udara yang segar telah menyapa indra peraba, bersamaan dengan sang raja siang yang telah menampakkan air mukanya. Senyuman yang indah telah terukir di wajah seorang gadis dengan surainya yang pendek nan menawan. Satu langkah kakinya telah menunjukkan bahwa ia yakin untuk memulai hari dengan bahagia.

Gerbang bertuliskan SMA Negeri 1 Surakarta menyambutnya dengan tenang. Pukul enam lebih sepuluh adalah waktu yang terbilang cukup pagi untuk sampai sekolah. Ia bisa melihat dua siswa lelaki dan satu siswa perempuan tengah mempersiapkan diri untuk mengibarkan bendera.

"Raya!"

Seseorang memanggil, membuat gadis sang pemilik nama berhenti dan menoleh ke belakang. Ia melihat sesosok laki-laki tengah melangkah ke arahnya, memasang senyum yang indah dan perawakannya yang memakai setelan baju putih abu yang dibalut jaket warna hitam. Hanya ada satu kata di pikiran Raya saat ini,

tampan sekali.

Lelaki itu adalah sang pemegang nama Aksa, sosok yang sejujurnya telah singgah di hati Raya sejak lama.

Hampir satu setengah tahun menempuh pendidikan di SMA 1 Surakarta dan itu bukanlah waktu yang singkat. Keduanya telah bersua sejak kelas sepuluh, kedekatan mereka sudah tak diragukan lagi.

Namun, sayang.

Mereka bak bulan dan bintang, dekat namun tak bisa bersatu.

"Proposal kemarin sampai di mana? Sudah menyiapkan surat izin untuk meminjam ruang kelas?" Aksa bertanya, dan kini mereka berjalan beriringan menaiki tangga.

Raya tersenyum dalam diamnya, lantas ia menjawab, "Sudah. Aku bisa kerja cepat, ya. Tidak seperti dirimu."

Tak bisa dipungkiri bahwa Raya sangat rapih dalam menjaga perasaannya. Bahkan tak ada yang tahu bahwa selama ini ia memupuk rasa yang begitu dalam untuk si lelaki.

"Aku tau. Hanya memastikan, siapa tau kamu butuh bantuan. Aku tau kalau kamu sedang pusing maka pekerjaanmu tidak akan selesai. Maka dari itu aku bertanya," mereka masih berjalan beriringan, dan kali ini hati Raya menghangat. Aksa telah begitu paham bagaimana seluk beluk hidupnya selama ini.

"Sudah, ya. Aku belum mengerjakan tugas kimia. Sampai jumpa!" ucap Aksa sebagai perpisahan. Ia menyodorkan tangan kanannya yang mengepal, memberi isyarat agar Raya juga melakukan hal yang sama. Mereka sering melakukan 'tos' semacam ini saat hendak melanjutkan aktivitas masing-masing.

Raya menatap punggung Aksa sampai hilang ditelan pintu kelasnya. Ia terdiam untuk beberapa detik, tersenyum dalam lukanya di kala mengingat bahwa ia hanya bisa mengubur rasa yang ia pupuk untuk selamanya.

 Ia terdiam untuk beberapa detik, tersenyum dalam lukanya di kala mengingat bahwa ia hanya bisa mengubur rasa yang ia pupuk untuk selamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bel berbunyi, tak terasa sudah pukul sebelas lebih empat puluh lima. Jam makan siang telah tiba, satu jam istirahat yang begitu berharga.

Raya membuka pintu kelasnya, melihat sekeliling lorong yang begitu ramai. Ia memutuskan untuk duduk di depan kelas, memakan snack kesukaannya.

"Pelajaran sejarah itu membosankan."

Raya terkejut, apalagi ketika Aksa yang tiba-tiba duduk tepat di sampingnya. Raya melihat sekeliling, menyadari bahwa kondisi lorong saat ini ramai, dan ia tak ingin ada rumor-rumor tidak jelas yang menyebabkan reputasinya hancur.

"Tahu tidak, tadi kelasku membahas teori big, teori big...," Aksa mengerutkan alisnya, ia mencoba mengingat materi yang baru saja dijelaskan tadi.

"Teori Big Bang, Sa?" Raya menyaut, sambil tersenyum simpul dan masih menghabiskan snack kesukaannya.

"Nah! Itu! Aneh sekali. Bagaimana mungkin alam semesta yang seluas ini bisa tercipta dari sebuah bintang kecil?" Aksa menggerutu.

"Tergantung kepercayaan, Aksa. Teori Big Bang tidak aneh bagi penemu dan semua orang yang mempercayainya."

"Hal kecil bisa menyebabkan sesuatu yang besar," kali ini Raya mengucap dengan sendu.

Hal kecil memang bisa menyebabkan sesuatu yang besar.

Perlakuan kecil dari Aksa bisa membuat Raya jatuh dengan mudahnya.

Ketulusan Raya begitu besar, namun ia tak tahu apakah Aksa juga merasakan hal yang sama.

"Ya, seperti seorang laki-laki yang tengah jatuh pada seorang perempuan," Raya menatap Aksa ketika pemuda itu berucap. Pandangan Aksa ternyata tidak tertuju padanya, namun justru tertuju pada seorang gadis di ujung lorong yang tengah tersenyum kala melangkahkan kakinya mendekat.

Gadis itu bernama Prajna.

Ia kembang sekolah. Parasnya begitu menawan, tutur katanya begitu lembut, perilakunya pun anggun. Entah sadar atau tidak, banyak sekali siswa di sekolah yang menaruh atensi padanya. Terlebih, tak pernah ada rumor yang mengatakan bahwa Prajna sudah memiliki pujaan hati.

Satu-satunya rumor yang pernah Raya dengar soal Prajna adalah...

bahwa ia dekat dengan Aksa.

Raya melihat dengan jelas kala sorot mata milik Aksa seakan berbinar ketika pemuda itu menatap Prajna. Sangat jauh berbeda ketika Aksa menatap dirinya. Raya hanya bisa menunduk, mengatur napas dan berusaha meminimalisir rasa sakit yang sejak dulu telah bersiam di hati kecilnya.

"Hai, Raya! Bagaimana proposalnya? Sudah bisa dicarikan tanda tangan?" entah ada haluan apa, Prajna berdiri di depan mereka berdua. Membuat Aksa tersenyum lebar sedangkan senyum yang diukir Raya justru senyum yang terpaksa.

"O-Oh, proposal, ya. Sudah aku selesaikan, tapi sepertinya masih harus direvisi lagi," dan bagian lebih lucunya adalah, mereka bertiga tergabung dalam satu organisasi sekolah.

Cinta datang dari kebiasaaan, katanya. Itulah yang membuat Raya bisa jatuh pada seorang Aksa. Mereka sering bersua, berawal dari membicarakan keperluan organisasi, hingga membicarakan tentang makanan kesukaan.

Senyumnya, tawanya, tingkah lakunya. Semuanya Raya suka. Aksa bukan termasuk laki-laki yang nakal di sekolah ini, Aksa juga jarang sekali ikut perkumpulan para lelaki yang hanya menyukai rokok dan mabuk. Itulah point plus yang dimiliki seorang Aksa.

Dan menurut Raya sendiri, satu-satunya gadis yang patut bersanding dengan Aksa hanyalah Prajna. Bahkan, deskripsi kata-kata ini tak mampu menggambarkan betapa sempurnanya dia..

"Aku harus kembali ke kelas. Sampai jumpa!" tak tahan dengan hatinya yang begitu luka, Raya memilih untuk meninggalkan mereka dan masuk ke kelas.

Ia duduk di bangkunya dengan tenang. Gadis itu masih sempat tersenyum pada teman sekelasnya. Sekali lagi, Raya benar-benar rapih dan teliti dalam menjaga segala sesuatu yang terjadi di hatinya.

Bukan Aksa yang tak bisa bersanding dengan Raya.

Melainkan Raya-lah yang tak pantas untuk Aksa.

    Melainkan Raya-lah yang tak pantas untuk Aksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kita dan Takdir SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang