iii. Sirna

131 7 0
                                    

   Raya duduk di meja belajar kamarnya. Ia mematikan semua lampu kecuali lampu belajarnya. Gadis itu sudah tidak menangis. Seumur hidup Raya tak pernah menangis karena laki-laki. Entah haluan apa pertahanannya sore tadi benar-benar hancur. Ia mendadak mengungkapkan semuanya di depan Aksa, seolah ia tak akan bertemu lelaki itu lagi.

   Sungguh. bisa dibilang Raya sedikit menyesal. Ia tak ingin canggung jika bertemu Aksa besok. Maka yang ia lakukan sekarang adalah mengambil ponselnya lantas mengetk beberapa kata di sana.

"Sa..."

"kamu di mana?"

"Maaf tadi aku terlalu emosional, tolong jangan terlalu dipikirkan..."

   Centang satu.

   Tak biasanya Aksa mematikan handphone-nya. Ini sudah pukul delapan malam, seharusnya Aksa sudah pulang dari tadi. Program kerja yang di ampu lelaki itu semestinya tak perlu membuat Aksa pulang terlalu larut.

   Pada akhirnya, Raya memilih untuk meletakkan handphone-nya. Lantas atensinya mengarah pada sebuah amplop yang ia letakkan di ujung meja belajar. Ya, itu adalah amplop dari Aksa.

   "Kamu benar-benar bukan untukku, ya?" gumam Raya.

   Baru satu setengah tahun Raya dan Aksa berinteraksi. Mereka dipertemukan oleh Smansa dan organisasi yang sama. Kurang dari dua tahun lagi mereka akan lulus, dan Raya bahkan tidak tahu Aksa akan melanjutkan kuliah di mana. Agaknya, Raya sudah menyerah untuk berjuang.

   Gadis itu berencana memberikan surat milik Aksa besok. Setelah Prajna menerima surat itu, Raya akan berusaha menjaga jarak dengan Aksa. Ia akan berusaha menetralkan perasaannya, ia akan berusaha untuk 'biasa saja' jika bertemu Aksa.

Berusaha.

Terus berusaha. Sampai tiba-tiba ponsel Raya berdering. Sebuah nama muncul di layarnya. Sebuah nama yang jika ia dengar membuat Raya menangis. Sebuah nama yang jika ia dengar selalu membuat hatinya sakit.

   Itu Prajna.

   Mengapa Prajna menelepon malam-malam?

   Alis Raya berkerut. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menerima telepon dari Prajna.
  
   Sekali lagi, Raya sama sekali tak pernah membenci Prajna. Ia hanya membenci dirinya sendiri yang selalu berpura-pura bahagia. Prajna dan Aksa memiliki hak untuk saling mencintai, dan Raya bukanlah siapa-siapa.
  
   "Ray...kamu di mana?"

   Betapa terkejutnya Raya kala mendengar suara Prajna yang bergetar. Gadis itu jelas menangis. Ada apa ini?

   "Di rumah, Na. Kamu menangis? Kenapa? Ada apa?" Indra pendengar Raya bisa dengan jelas menangkap isak tangis Prajna. Di sana terdengar begitu bising. Raya mulai tak bisa berpikir jernih.

   "Ray, Aksa kecelakaan."

   Deg.

   Bukan ini yang ingin Raya dengar.

   "Hah? Prajna? Kapan? Bagaimana bisa? Di mana dia sekarang?" kini, bukan Prajna satu-satunya yang panik. Raya menarik napas, ia berusaha menetralkan detak jantungnya.
  
   "Ke rumah Aksa sekarang, Ray. Pelan-pelan, ya," itu adalah kalimat yang Prajna katakan sebelum ia menutup teleponnya sepihak. Tanpa pikir panjang, Raya langsung bersiap dan keluar dari kamarnya. Ia meminta ayahnya untuk mengantar ke rumah Aksa karena ini sudah gelap.

   Aksa kecelakaan, lantas mengapa Prajna meminta Raya untuk ke rumah Aksa?

   Kenapa tidak ke rumah sakit?

   Raya menggeleng. Tak bisa dipungkiri, berjuta pikiran negatif datang ke benaknya. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Ia meremat jaketnya sendiri, berusaha untuk membendung air matanya.

   Sampailah gadis itu di sebuah rumah. Rumah yang kini halamannya telah ramai.

   Kursi-kursi di tata, orang-orang berdatangan. Tak ada satupun insan di sana yang memasang senyum di wajahnya. Suasananya sungguh berubah menjadi biru.

   Raya turun dari mobilnya dengan gemetar. Ia berlari, melewati orang-orang di sana. Ia masuk ke rumah itu, dan...

   Raya hancur.

   Ruangan seolah menjadi sempit. Oksigen seakan berangsur-angsur menghilang. Paru-parunya berhenti bekerja. Dadanya sesak sekali kala melihat banyak wajah yang ia kenal, tengah terduduk lemas dan menangis di atas karpet ini.

   Raya hanya terdiam.

   Ia terpaku, tubuhnya kaku di ambang pintu.

   Pandangannya tepat mengarah ke depan, mengarah pada satu objek yang membuat semua orang menangis.

   "Aksa...,"

   Kini, kakinya lemas. Raya terjatuh di sana. Ia menangis. Menangis sejadi-jadinya.

   Tak ada yang menjelaskan apa yang terjadi, namun gadis itu sudah mengerti.

   Ia tak akan pernah melihat Aksa lagi. Lelaki itu telah tertidur untuk bangun di dunia yang baru. Dunia yang bukan menjadi ranah Raya lagi.

   "Ray, kamu harus kuat," seseorang memeluknya. Membelai lembut punggung Raya yang tengah menunduk. Itu adalah Belva. Ia jelas tahu bagaimana hancurnya Raya.

   Cintanya tak terbalaskan. Bahkan sampai seribu tahun kedepan, Aksa tak akan pernah membalas semuanya. Bagian terakhir dari hidup Raya telah menghilang direnggut semesta. Tuhan lebih menyayangi Aksa ketimbang dirinya. Apa yang dijemput malaikat malam ini adalah bunga terindah yang tumbuh di hati Raya.

   Semesta yang terbentuk dari sebuah titik kecil, mengembang menjadi berbagai galaksi dan planet. Berjuta kemungkinan bisa terjadi, namun dari segala kemungkinan itu, Raya diberi kesempatan untuk bertemu dengan sesosok Aksa. Lelaki yang senang sekali mengenakan jaket hitam, lelaki yang punya jiwa kepemimpinan yang kuat, lelaki yang senyumnya selalu Raya dambakan. Mulai detik ini, Raya tak akan pernah melihat senyum itu lagi.

   Raya tak pernah tahu, bahwa sore tadi adalah momen terakhirnya bersama Aksa.

Kita dan Takdir SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang