10

1.1K 91 3
                                    

Jaemin tengah duduk di atas ranjang rawatnya sambil menatap kosong ke depan. Dirinya kembali berkelana di masa lalunya yang begitu kelam dan suram. Masa dimana dia dan teman-temannya meminta tolong dengan sekuat tenaga.

Jaemin tersenyum tipis mengingat kisahnya yang begitu kelam itu. Ya, memang bukan hanya dirinya yang merasakan hal itu, tetapi pengkhianat tetaplah pengkhianat yang selalu diingat oleh Jaemin. Jaemin benci seorang penghianat dan pecundang.

"Gue gak habis pikir, kenapa masa lalu itu masih membekas sampai sekarang? Rasanya sesak dan sakit-"

"Benar kata pepatah, manusia lebih menakutkan dibandingkan setan."

Jaemin terkekeh sinis.

"Manusia lebih jahat daripada iblis. Manusia lebih menakutkan daripada setan..."

Jaemin perlahan bergerak turun dari kasur rawatnya itu. Dia berusaha untuk menahan rasa sakit pada kakinya yang memakai gips itu.

Jaemin perlahan duduk di atas kursi rodanya saat setelah dia berhasil turun dari kasurnya serta juga menarik besi penyangga infusnya.

Perlahan dia menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari ruang rawatnya itu.

"Tuan Jaemin. Kenapa Tuan turun dari ranjang? Sini saya bantu untuk kembali berbaring," ucap seorang suster yang baru masuk ke ruang rawat Jaemin.

Jaemin menggeleng.

"Gue suntuk banget di dalam sana. Bau obat-obatan. Gak suka. Gue mau nyari udara segar di taman rumah sakit," jawab Jaemin malas.

Sang suster akhirnya mengalah dan mengikuti kemauan Jaemin. Dengan berat hati sang suster membantu Jaemin ke taman rumah sakit dengan cara mendorong kursi roda pemuda manis itu.

Sedangkan di sisi lain, Haechan mengerutkan keningnya saat melihat tatapan mata Chenle yang tak berkedip. Merasa penasaran, akhirnya dia memandang ke arah objek utama tatapan mata sahabat seperjuangannya itu.

 Merasa penasaran, akhirnya dia memandang ke arah objek utama tatapan mata sahabat seperjuangannya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dia makin ganteng ya?"

Chenle kaget saat mendengar suara Haechan. Dengan tatapan yang masih syok dia menatap Haechan. Haechan masih memandang Jisung santai.

"Cukup nikmati dari kejauhan tanpa ada rasa untuk memiliki. Right! Cinta dalam diam," gumam Haechan sambil menatap tajam ke arah Jisung.

"I ... Iya, Chan," jawab Chenle pelan.

Chenle menunduk sambil menatap sepatu hitamnya.

"Love in silence ya?" batin Chenle miris.

"Kalau emang lo mau dia secara terang-terangan, gue gak akan maksa lo buat berhenti. Tapi, gue mikir, lo terlalu bodoh buat main sama dia lagi," jelas Haechan.

Haechan memandang Chenle, begitupun dengan Chenle.

"Lo terlalu bodoh kalau emang masih mau sama dia setelah apa yang dia lakuin sama lo. Ah ... Ralat, maksudnya kita bertiga. Lo lupa kalau dia tangan kanannya?" tanya Haechan tenang.

Pandangan Haechan dan Chenle kembali menatap Jisung. Di sana, Jisung tengah tertawa bak tak punya beban.

"Tawanya bikin gue muak. Dia hidup seakan-akan gak punya beban. Harusnya dia menyesal dan berusaha buat hapus dosanya di masa lalu," ucap Haechan sambil tersenyum tipis.

"Semakin kesini, gue semakin yakin kalau emang kita cuma-"

"Stop. Gak usah dibahas!" potong Chenle menahan marah.

Haechan tersenyum menyeringai. Dia menyandarkan punggung dan kepalanya pada tiang koridor. Tangannya melipat di depan dada dengan santai.

"Kalau gue kasih lo pilihan, lo milih balik sama dia atau tetap bertahan di tim. Lo bakalan milih yang mana?" tanya Haechan santai.

Chenle menatap Haechan tak suka.

"Kenapa ngasih gue pilihan kayak gitu?"

"Gue cuma bertanya."

"Kata cuma lo punya banyak makna."

Haechan terkekeh saat mendengar jawaban Chenle.

Chenle menghela napas panjang.

"Ganti topik. Gimana cara kita biar bantu Jaemin yang lagi lumpuh sementara?" tanya Chenle.

"..."

"Pulsek kita jenguk Jaemin, sekalian kita bawa apel. Dia suka apel," ujar Chenle.

"Ayok ngantin!" ajak Chenle.

Haechan hanya menganggukkan kepalanya, lalu mereka berdiri dari posisi duduknya. Chenle dan Haechan berjalan pergi meninggalkan koridor sekolah menuju kantin.

"Gue bangga sama Grexda. Malam tadi kita berhasil buat tundukin satu grup. Ya ... Walau areanya jauh dari Garuda dan NB," ucap Chenle kagum.

"..."

Mata Haechan tiba-tiba membulat.

"CHENLE!"

Bersamaan dengan terbenturnya tubuh Chenle pada tembok, bersamaan juga vas bunga terjatuh dari lantai dua sekolah tepat mengenai tangan kanan Haechan.

"Shit!"

"Haechan!"

Chenle berusaha menghampiri Haechan walau tubuhnya terasa remuk. Dorongan Haechan tak main-main.

"Gue gak apa-apa," jawab Haechan sambil memegang tangannya yang berdarah karena tergores pecahan vas.

Dengan pelan Haechan bergerak untuk mengambil sebuah kertas yang menurutnya berasal dari vas bunga itu.

Dia membuka kertas itu dan membacanya. Bibirnya tersenyum menyeringai saat membaca kalimat yang tertera pada kertas itu.

"Ini belum seberapa. Regaza always lock you!"

Haechan tersenyum tipis, lalu membuang kertas itu dengan santai.

"Ternyata ada pengkhianat," gumamnya tepat sasaran.

- 💮💮💮 -

Lorexda | Markhyuck Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang