Bagian 27

20.6K 1.2K 191
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Perjalanan dari hutan sampai ke pesantren, kali ini memakan 3 jam. Begitu sampai di rumah. Umi dan Abi langsung menyambut mereka. Bertanya kabar dan lain-lain.

Dan satu yang menjadi pertanyaan yang akhirnya membuat Zaman berbohong pada uminya. Ini kali pertama ia berbohong.

"Semua aman, kan? Nggak ada drama melanggar peraturan? Bisa dijaga, kan, Zaman? Mahika, kamu nggak diapa-apain sama Zaman, kan?"

Mereka berdua saling tatap. Lalu mengangguk bersama.

"Aman, Umi." Zaman menjawab. Dan itu membuat Abi serta Umi menghela napas lega.

"Anak baik, Umi." Dia mengusap lengan Zaman.

"Besok sudah masuk sekolah. Mahika ada yang mau dibeli?" Tanya Umi.

"Sebenarnya ada. Tapi harus ke kota."

"Kalau begitu ayo," sahut Zaman.

"Boleh, Umi?" Mahika bertanya pada mertuanya. Tentu Umi mengangguk.

"Abi, boleh?" Mahika kembali bertanya.

Abi tersenyum lantas mengangguk.

Jadi, setelah makan siang. Mereka berdua langsung pergi ke kota. Hari ini sudah ada beberapa santri yang datang. Mereka lebih dulu karena takut jika besok terlambat.

Maka, keduanya memutuskan pergi dengan Mobil. Takut jika ada santri yang melihat.

"Eh itu mobil Papanya Riri. Cepat juga tuh anak datang."

Zaman terlihat diam saja sedari tadi. Dan itu membuat Mahika heran. Dia menoleh pada Zaman. Mencolek lengan lelaki itu. Lantas bertanya.

"Kenapa? Ada masalah? Bukannya kita udah bebas ya. Kamu bisa kuliah lagi, aku bisa sekolah. Teman-temannya Papa udah nggak datang lagi ke pesantren. Apa lagi?"

Zaman yang fokus menyetir sedikit menoleh pada istrinya.

"Aku takut."

"Takut kenapa?" tanya Mahika.

"Takut kamu hamil."

Mahika seketika terdiam. Dia menunduk dan memainkan jemarinya.

"Kita bukan nggak suka rezeki. Tapi untuk sekarang memang harusnya jangan dulu. Kalau kamu hamil, akan banyak hal yang akan kamu korbankan. Dan aku nggak akan kehilangan apapun, justru mendapat lebih. Tapi aku akan merasa bersalah karena merenggut semuanya dari kamu."

Mahika mengusap lengan Zaman.

"Nggak akan. Semuanya akan baik-baik aja."

"Tiga kali, Mahika. Aku benar-benar bodoh. Harusnya yang di rumah yang jadi terakhir. Tapi malah lanjut di sungai, dan berakhir semalam di rumah. Aku benar-benar hilang akal dan nggak mikirin kedepan-depannya akan seperti apa."

Zaman menatap Mahika sekilas.

"Aku minta maaf. Aku nggak bisa jaga kamu. Semuanya terjadi atas kesadaran dan bodohnya setelah terjadi baru menyesal. Aku cuma berharap satu hal, Mahika. Allah tunda rezeki ini agar kamu bisa tetap lanjut sekolah. Itu yang paling aku do'a kan. Mungkin terkesan menolak, tapi Allah lebih tahu maksud do'a itu."

Mahika diam mengangguk.

Mereka menang hilang kendali pada saat di hutan. Tidak ada yang melanggar, ya, semuanya berjalan sesuai mau mereka.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang