Warning chapter panjang.
Hari ini banyak momen bahagia yang Renjun rasakan. Menyelami hari dengan nuansa menyenangkan yang penuh tawa, dari fajar menyinari bumi, hingga rembulan menggantikan tugasnya. Renjun tak tahu bahwa di tempat antah berantah ini, ia bisa tersenyum lega tanpa merasakan takut luar biasa.
Bicara lebih leluasa, melakukan segala hal tanpa harus menahan diri, dan tidak perlu bersembunyi. Orang-orang tak memandangnya dengan tatapan menghakimi, menuntut, dan memaksanya menjadi orang lain. Renjun bisa menjadi dirinya sendiri.
Meski begitu, bohong jika tak ada renjana di dalam kalbunya. Bohong jika ia bisa meninggalkan gundah sepenuhnya. Bagaimanapun Renjun akan selalu merindukan Negerinya. Tempat di mana ia bisa merasakan pelukan hangat sang Ibu. Merasakan betapa lembutnya suara sang Ibu saat menyanyikan lagu pengantar tidur.
Sebelum lelapnya menjemput, asa ia lontarkan pada sang pemiliki Semesta. Setidaknya biarkan ia kembali meski hanya sekali, untuk memastikan bahwa sang Ibu baik-baik saja di sana.
"Bu ... Aku rindu" lirihnya dengan sendu sebelum dijemput sang kantuk, hingga kedua iris cantiknya terpejam. Mengantarkan sang Pangeran terbuang, ke dalam bunga tidur yang tengah menantinya.Tak ada yang tahu, satu kalimat pengantar tidur telah didengar oleh raga lain yang berdiri di balik pintu. Seseorang yang terpaku, karena hingga kini ia masih tidak tahu haruskah ia biarkan jiwa di dalam ruangan sana pergi. Lantas ia segera pergi menjauh, tak jadi masuk ke dalam sana. Tak ingin pula mengganggu Renjun yang sepertinya sudah terlelap.
Siapa yang tahu bahwa kelam pada cakrawala begitu cepat berlalu. Pagi datang menjemput, disertai cuitan burung-burung yang bersemangat menghiasi biru pada langit membentang itu. Udara nampak segar, menyambut hari baru yang indah.
Renjun membuka matanya perlahan, mengusak sepasang iris itu sebelum bangkit, dan merapikan tempat beristirahatnya. Si manis beranjak membersihkan diri, sebelum menghampiri Jeno yang terlihat berada di halaman belakang.
Selesai dengan kegiatannya sendiri, Renjun menghampiri sosok yang berbaik hati menolongnya itu. Ia memperhatikan dari kejauhan bagaimana Jeno mengumpulkan banyak kayu bakar. Renjun pikir jika ia memiliki sihir seperti warga Witcher, mengapa harus repot mengeluarkan tenaganya.
"Kenapa diam di sana?" tanya Jeno tiba-tiba. Membuat Renjun yang semula diam bersandar pada kerangka pintu bergerak semakin mendekat padanya.
"Kenapa tidak gunakan sihir mu? Ku pikir akan lebih mudah jika kau memanfaatkan kekuatan mu" ucap Renjun. Jeno menatap Renjun sejenak, sebelum kembali memotong kayu-kayu kering itu dengan kapak.
"Mengeluarkan sihir untuk hal sekecil ini, hanya akan membuatmu semakin banyak kehilangan energi. Kau pikir menggunakan sihir tidak melelahkan?"
Renjun mengangkat kedua bahunya. Meski begitu mendengar penjelasan Jeno, Renjun mengerti bahwa mengeluarkan sihir akan lebih melelahkan dibandingkan dengan mengeluarkan tenaga yang benar-benar berasal dari diri kita. Renjun memperhatikan Jeno dari atas ke bawah. Apa Jeno selalu seperti ini? Tidak pernah melepas sarung tangannya.
Setelah beberapa hari Renjun berada di sini, ia tidak pernah melihat Jeno melepaskan sarung tangan yang terpasang di lengan kirinya. Renjun jadi penasaran akan itu. "Bolehkah aku bertanya?"
"Katakan" jawab Jeno sembari terus melakukan kegiatannya. "Apa kau tidak pernah melepas sarung tangan mu itu?" tanya Renjun.
Jeno berhenti sejenak dari kegiatannya, lantas ia menatap Renjun lekat. "Kau tidak akan suka ketika aku melepaskannya begitupun aku, dan jawabannya aku memang tidak pernah melepas ini" ucap Jeno sembari mengangkat lengan kirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Witch's Lover
Fiksi PenggemarSebuah peristiwa yang mempersatukan mereka, berujung pada sebuah petualangan menakjubkan untuk menjelajahi dunia. Menghadapi berbagai rintangan, yang semakin memperkuat rasa diantara keduanya. Hidup dengan latar belakang yang berbeda, membuat perjal...