~ Pov Anumartia
Suasana yang cukup ramai untuk sekedar kafetaria berukuran seperenam lapangan bola. Lelaki di depanku tersenyum dengan jahil. Kupikir ia gila. Bukan, Sebenarnya aku yang gila karena mengundangnya untuk datang kesini menemuiku, kakak tirinya.
"Bukankah kau tak sudi melihat wajahku?" ujarnya sembari tangannya mengambil segelas moccacino dingin di depannya. Alisnya mengangkat, menunggu-nunggu jawabanku yang pastinya hanya akan menjadi lelucon baginya.
"Kupikir, aku sudi?"
Perasaanku sedikit gugup. Seharusnya aku menjadi angkuh, bukan malah sebaliknya merasa lebih rendah dibandingkannya. Kutegakkan lagi dudukku, kusilangkan kakiku, kubalas tatapan remeh itu dengan memandangnya tetap pada mata cerahnya.
"Lalu apa yang mengantarkanmu ke sini, Step-Sister."
Aku menghela nafas kasar. Mencoba mengatur emosiku agar tetap tenang dan terkontrol. Untuk sementara ini.
"I'm not your sister," seruku, "So, tell me what do you want? Destroying my family isn't enough for you?"
"What do you mean?!?"
Wajah Luke berubah bingung. Ia tak mengerti apa yang kukatakan barusan. Dan aku juga tak mengerti maksud dari kebingungannya. Kupikir ia sengaja menyembunyikannya. Kebenaran bahwa ia ingin benar-benar membuat keluargaku menderita, ibuku terutama.
"Don't pretend. Kau sengaja mengikutiku ke Padjadjaran, bukan ?"
"Selain tak tahu malu, kau juga sangat kepedean ya?" Luke tertawa. Sangat renyah, hingga aku merasa bahwa aku hanya keripik yang sedang ia kunyah.
Aku menjadi bingung, seperti dugaanku padanya beberapa detik lalu. Jujur saja, Luke sedikit berbeda dari ia yang terakhir kutemui setahun lalu, di pesta rakyat Bantul. Ia menjadi lebih dewasa, kupikir. Tetapi semestinya tidak, kan. Ia hanya bocah kecil ingusan yang mencoba menendangku keluar dari rumah itu, rumahku saat ini. Rumah pemberian ayahku yang tak akan pernah kuanggap sebagai bagian dari aliran darahku lagi.
Luke memperbaiki posisinya, lebih tegap, tangannya mengunci di atas meja. Tatapannya terlihat serius. Ia bukan Luke yang kukenal atau mungkin aku yang tak pernah mengetahui siapa Luke sebenarnya. Aku tidak tahu. Kupikir aku telah belajar banyak tentang semua materi kehidupan, subjek sekolah, hingga sains terkini. Aku mempelajari semuanya agar aku dianggap, setidaknya oleh ayahku yang meremehkanku sejak aku gagal masuk ujian pangkat junior di Batavia, 9 tahun lalu.
"Aku tak mengikutimu," ujarnya kemudian. Masih dengan keyakinannya untuk bersikap layaknya lelaki sejati.
"Liar." Aku menyunggingkan salah satu ujung bibirku, tak mempercayai apa yang barusan Luke katakan padaku.
Luke menghela napas panjang. Aku tahu ia sedang mencari cara untuk menjelaskan dengan jujur kepadaku atas apa yang memang terjadi padanya, kehidupannya.
"Aku juga manusia, aku punya impian. Lagipula untuk apa aku mengikutimu."
"Impian? Anak sepertimu punya impian?" Aku tertawa meremehkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/356239982-288-k13088.jpg)
YOU ARE READING
Satu Titik Dua Dua
RomanceBagaimana kisah kami terjadi jika nusantara tidak lagi merdeka meski 17 agustus 1945 telah terlewat ? Martia, Seruni, dan segala kerumitannya menemukan sisi tujuan hidupnya untuk tetap berdiri di bawah kaki sendiri. Bersama dengan relungan masa de...