Bia memegangi dadanya dengan mata yang membelalak. Jantungnya berdegup kencang, buah dari kekagetan begitu tiba-tiba tubuhnya ditarik dan diseret ke lorong yang sepi.
Bia siap berteriak kencang, tapi begitu mendapati Firly yang melakukannya, Bia pun menghela napas besar."Sorry, Bi. Tapi please ... bantuin gue." Firly memasang wajah penuh permohonan dengan kedua telapak tangan yang disatukan. Posisinya pun sangat mepet dengan Bia hingga cewek itu sedikit berjengit mundur.
"Nggak mau, gimana pun Leon temen gue dari TK."
"Bi, ayolah. Gue butuh bantuan lo." Firly tidak menyerah. Sekarang ia menggenggam tangan Bia.
"Kalo mau putus, lo tinggal bilang aja. Lagian udah terlalu jelas kalo tembok penghalang kalian itu tinggi banget."
Firly memasang wajah sendu. "Gue harus ngomong apa? Gue yang udah dikenalin sama cowok? Bi, gue nggak mau Leon sakit hati."
"Lo pikir Leon nggak bakal sakit hati seandainya tau lo minta gue buat bantu putus? Lo yang bikin citra dia jadi jelek?"
"Bi ...."
Bia mendengkus, ia melepaskan tangan Firly lalu memilih melenggang pergi. Pagi-pagi otaknya sudah diberi asupan dari keruwetan hubungan orang. Betapa malangnya nasib seorang Yihana Sabria ini.
"Kalo lo nggak mau bantu, gue bakal bongkar siapa lo."
Bia menghentikan langkah seketika. Kepalanya menoleh ke belakang. Menatap Firly dengan bibir sedikit terbuka.
"Gue bakal bilang, biar semua cowok tau lo deketin mereka karena ada maksud. Selanjutnya usaha lo ini nggak bakal berjalan lagi."
"Fir!"
Firly memasang wajah tegas. "Gue tau gue temen lo, lo temen gue. Tapi lo pun nggak mau bantu gue."
Bia memejamkan matanya, menahan gejolak rasa kesal di dalam dadanya. Situasinya benar-benar sulit. Bia salah apa sih sama Firly? Sampai-sampai cewek itu tidak segan melempar Bia pada kesulitan ini.
"Gue bakal kasih penuh lo rencananya, lo cuma ngejalanin aja, Bi."
"Gila." Akhirnya Bia tidak bisa menahan diri lagi untuk mengeluarkan umpatan.
oOo
Pagi yang harusnya cerah pun menjadi suram. Bia datang ke kelas dengan mood yang buruk. Kintan sampai membrondongi dengan banyak pertanyaan. Bukannya menjadi solusi, Bia malah tambah kesal karena kata-kata Kintan itu.
"Jangan cemberut, wajah lo itu aset utama sang pelakor."
Bia menatap Kintan datar. Sahabatnya itu pun tertawa lalu menepuk-nepuk puncak kepala, meniru yang biasa dilakukan oleh keluarga Bia.
"Bu Marwa lahiran, jadi katanya ekonomi sekarang dipegang sama guru magang. Katanya lagi, gurunya masih muda dan ganteng banget."
"Emang apa yang spesial dari ganteng?" tanya Bia dengan suara yang tidak berminat.
Sebagai orang cantik, Bia sudah bisa memahami sendiri. Selain rupa yang diagung-agungkan orang itu, tak ada lagi hal hebat yang dirinya punya. Menjadi cantik membuat padangan Bia terhadap cowok ganteng pun rendah.
Seseorang menyapa di depan dan semua menjawab dengan antusias. Kecuali Bia yang memilih menunduk untuk mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya.
"Bi, liat ke depan."
"Guru barunya bawa ondel-ondel?" tanya Bia ngasal seraya merogoh kotak pensil yang terjepit antara buku.
"Bukan, buruan liat mukanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putus Berbayar
Teen FictionBermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia sadar ternyata dirinya punya bakat menjadi pelakor. Dengan gen enterpreneur yang mengalir di darahnya, Bia pun mengubah kesialan itu menjad...