Nean menyerahkan buku itu pada Bia. Dia pun hendak melengos pergi, tapi cepat-cepat Bia menahan tangannya. Cewek itu tidak bisa menerima situasi yang jelas tidak biasa ini begitu saja.
"Bia nggak pernah bilang ada PR loh." Tatapan Bia kini terlihat menuntut penjelasan. Kelopak matanya sedikit menyipit dengan fokus sorot yang tinggi.
"Udah bilang kan kalo otak jalan, kita bisa nyimpulin tanpa ngelakuin." Tatapan Nean sedikit sayu. Menunjukkan seolah Bia seharusnya tidak bertanya untuk sebuah hal sudah dijelaskan pasti.
Bia menyentuh bibirnya. "A-ayi, tau?"
"Bukannya aneh kalo nggak tau?"
Bia membekap mulutnya dengan tatapan semakin tidak menyangka. "Ayi, i-itu Bia nggak macem-macem sumpah. Bi-bia cuma--"
"Iya ngerti. Ini cuma bisnis." Nean menatap kakaknya itu lembut. "Lain kali hati-hati. Yang lain mungkin nggak bisa nerima." Nean tidak ingin membahas lebih. Dirinya cukup menghargai keputusan Bia menutupi bisnisnya itu, Bia punya alasan, Nean hanya ingin mendukung.
"Ayi ...." Bia menatap Nean dengan bola mata bergetar penuh haru.
"Udah sana masuk." Nean memutar tubuh Bia dan mendorongnya agar masuk ke kamar.
"Kakang gimana?" Bia menahan kakinya. Wajahnya kembali menatap Nean. Jelas sekali jika tadi Kean marah.
"Paling dia ngira Bia cegil yang lagi ngejar cowok."
Bia memasang wajah tidak terima.
"Udah, sana. Nanti diberesin."
Bia pun akhirnya menurut dan masuk ke kamar. Dia menyandarkan punggung pada pintu. Bia menghela napas besar. Antara lega juga cemas. Lega karena Nean menerimanya, cemas karena takutnya Kean semakin penasaran dan malah mencari tahu tentang apa yang dirinya jalani selama ini. Itu bukan situasi yang aman bagi Bia.
Ponsel Bia tiba-tiba berdenting. Cewek itu pun membuka ponselnya sembari berjalan ke arah ranjang. Mendudukkan dirinya di sana dengan mata yang mulai membaca.
Isi pesannya tentu saran Kintan tentang Leon untuk besok pagi. Bia membaca sekilas dan tak berniat memberi balasan, karena Bia merasa saran itu tidak cocok digunakan pada Leon. Untuk Leon, Bia harus benar-benar hati-hati.
Sebuah notifikasi kembali muncul. Rupanya ketua kelas yang memasukkan guru baru ke dalam grup kelas. Yang membuat suasana langsung ramai menyambut terutama anak-anak cewek. Bia bisa melihat kompetisi menarik perhatian dari mereka.
Bia sedikit penasaran. Dia pun menyentuh profil dari Zyan. Fotonya tidak neko-neko. Hanya duduk di kafe dengan wajah menghadap jendela yang tengah hujan. Masih muda, ganteng, bagaimana anak cewek kelasnya tidak tertarik?
"Kayaknya beneran nggak asing." Bia mengernyit kecil. Setelah semakin diperhatikan, dirinya mulai kepikiran jika Zyan itu bukan orang asing seperti kata Kintan.
Memang betul Bia sekarang sudah ingat jika cowok itu yang memberikan sapu tangan, bahkan teman dari kakaknya yang punya kemungkinan pernah bertemu, tapi entah mengapa seperti ada sesuatu bahwa ketidakasingan Zyan bukan sekedar hal-hal itu. Ada yang lain, tapi Bia tidak tahu apa.
Bia kehilangan fokus hingga membuat ponselnya pun terjatuh. Dia cukup lega karena benda itu jatuh pada pangkuannya. Sayangnya beberapa detik kemudian dia berubah panik begitu mendapati layar ponselnya menunjukkan tampilan memanggil. Entah tak sengaja terpijit jarinya atau saat jatuh pada pahanya, yang jelas cepat-cepat Bia menekan opsi mengakhiri.
"Teleponnya belum nyampe ke sana, kan?" tanyanya dengan nada suara yang agak panik. Dalam hati tadi dirinya mengkritik anak-anak cewek di kelasnya begitu caper dengan sambutan-sambutan heboh itu, tapi dirinya justru membuat kesalahan yang jauh bisa dianggap caper oleh guru itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putus Berbayar
Novela JuvenilBermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia sadar ternyata dirinya punya bakat menjadi pelakor. Dengan gen enterpreneur yang mengalir di darahnya, Bia pun mengubah kesialan itu menjad...