7

56.6K 1.2K 18
                                    

Selesai membersihkan diri, yang di barengi dengan sedikit adegan dewasa, Vanya memeriksa ponselnya. Ternyata banyak panggilan juga pesan, salah satunya dari Pak Seto yang menanyai keberadaannya, kenapa tidak membuka pintu.

Vanya menghela nafas pelan dan kembali meletakan ponselnya setelah membalas pesan Pak Seto untuk meminta maaf.

Seharusnya saat ini dia sudah terbang menuju Belanda, dan akan memulai hidup baru disana. Kehadiran Ibra tentu mengubah rencana Vanya, walapun keinginanya untuk melajutkan sekolah belum padam.

Sembari menunggu Ibra yang membeli makanan di bawah, Vanya duduk di meja makan. Niatnya setelah menikmati makan nanti, dia akan kembali membahas masalahnya dengan Ibra.

Ini sudah terlalu jauh, dan Vanya menyesalkan sifat impulisfnya untuk tidak  menolak Ibra. Walapun kenyataan ternyata Ibra sudah menyukainya sejak lama, tapi hatinya merasa resah.

Mereka tidak memiliki hubungan, kecuali meyangkut anak dalam kandunganya, juga pernikahan Ibra dan Inka yang sudah di depan mata. Vanya merasa bodoh dua kali sesaat setelah mereka melakukannya kembali tadi. Tentu dalam keadaan sadar seperti ini, Vanya seharusnya lebih bisa berfikir, bukan malah menikmati seolah pasrah.

Ibra masuk setelah Vanya membuka pintu, lelaki itu membawa dua kotak sendwich dan satu botol susu untuk Vanya juga segelas kopi untuk dirinya sendiri. Tadi Ibra berniat membeli susu khusus untuk ibu hamil, tapi mengingat jika mungkin Vanya sudah memilikinya dia urung.

"Cuma sisa tuna, kamu, ok?" tanya Ibra sembari menyodorkan sendwich ke hadapan Vanya. Setahu Ibra, Vanya sangat menyukai daging asap, tapi tadi sudah habis dan dia memilih tuna seperti miliknya.

Vanya mengangguk tidak masalah.

"Susu hamil kamu ada? Aku tadi beli susu biasa, takut nggak sesuai selera kamu."

"Aku udah minum tadi." setelah bersiap tadi Vanya memang sudah menikmati susunya, tapi belum dengan sarapan karna  berniat melakukan di bandara saja.

Selesai menikmati sendwich, mereka terdiam dengan Ibra yang menikmati kopinya. Vanya duduk dengan gelisah, dia bingung untuk menjelaskan pada Ibra jika lelaki itu tidak perlu bertanggung jawab, bila perlu melupakan semua masalah mereka.

Sadar akan kegelisahan Vanya, ibra mengelus perut buncit wanita itu.

"Ada yang nggak nyaman?" tanya Ibra. Dia masih memerhatikan Vanya.

Vanya menggeleng, bibirnya semakin kelu. Usapan Ibra merabat naik, meremas buah dada Vanya sampai perempuan itu melengguh.

"Mass." cegah Vanya dengan suara desahan.

Ibra menurut, dia tarik pelan bahu Vanya sampai perempuan itu masuk ke dalam dekapannya. Tanganya kembali mengusap perut Vanya.

"Ada apa?" tanyanya lagi. Ada gurat-gurat kehawatiran terpapang nyata di wajah Vanya.

"Kita nggak boleh seperti ini Mas." ujar Vanya lirih. Terbesit wajah kecewa orang tua mereka juga Jessi di benaknya. Belum lagi Inka, calon istri Ibra yang pasti akan menggila saat tahu keadaanya.

"Kenapa nggak boleh, kamu ibu dari calon anakku." saut Ibra.

Vanya sudah akan melepas rengkuhan Ibra, tapi lekaki itu menahannya dan semakin mengeratkan.

"Tapi kita nggak punya hubungan apapun, Mas. Dan bahkan Mas Ibra sudah akan menikah."

Ibra mengehela nafas pelan ketika Vanya mengingatkan kembali tentang pernikahanya dengan Inka. Entah kenapa Ibra tidak merasa menyesal, hatinya malah semakin matap untuk membatalkan dan berbalik menikahi Vanya. Walapun nanti jalan yang akan dia tempuh tidaklah mulus. Ditambah wajah kecewa keluarga juga kemarahan Inka, Ibra yakin dia bisa melewatinya. Sekarang yang terpenting adalah meyakinkan Vanya, menahan perempuan itu agar tidak pergi darinya.

"Aku nggak mau Mas menghancurkan semuanya demi bayiku—"

"Bayi kita." potong Ibra. Dia tidak senang dengan Vanya yang seolah tidak mengakui keterlibatanya.

"Tetep aja, Mas. Aku bisa mengurus semuanya sendiri, menghidupinya bahkan sampai dia dewasa. Mas Ibra nggak perlu bertanggung jawab, cukup Mas diam dan ini semua akan tetap menajdi rahasia kita."

"Dan menurutmu apa dia nggak membutuhkan sosok Ayah?"

Vanya semakin gelisah. Ayah? Vanya tidak terlalu dekat dengan sosok yang di idamkan sebagai cinta pertama anak perempuan itu, jadi dia tidak berfikir anaknya juga memerlukan sosok itu.

"Vanya, dengar." Ibra mengurai pelukanya, memegang pundak perempuan itu agar tetap menghadapnya. "Nggak semua hal yang kamu pikirkan seperti itu juga kenyataannya. Semua bisa berubah, bahkan sekalipun kamu nggak melewatinya. Aku tahu kalau kenyataan itu terbongkar, semua akan berubah kacau. Tapi, kalau kita nggak melakukannya sekarang, semua tetap akan terbongkar dan mungkin akan lebih kacau."

Vanya mendongak, mentap Ibra yang menatapnya lembut. Apa yang di katakan laki-laki itu benar, jika tidak dilakukan sekarang, mungkin lain waktu akan mengubah sebuah cerita. Bisa saja anaknya kelak menjadi dendam padanya atau Ibra, padahal Vanya tidak ingin menjadikan anaknya sebuah alasan.

"Terus pernikahan Mas Ibra dan Inka?"

"Aku akan membatalkannya."

"Mass." Vanya berubah lemas. Semua orang pasti akan menyalahkannya juga anaknya, dan akan selalu ada cacian di setiap langkahnya. Jessi? Mendadak Vanya membayangkan wajah marah sahabatnya itu.

"Bukan kamu dan anak kita yang menjadi alasan, tapi sekalipun kamu nggak hamil, aku tetap akan membatalkannya," Ibra usap air mata Vanya yang mengalir. "Jangan menangis."

Vanya memang bukan pemicu keputusan Ibra, tapi dengan kenyataan bahwa perempuan itu mengandung anaknya, semakin membuat Ibra yakin untuk segera membatalkan pernikahannya dengan Inka.  Setelah ini Ibra akan berbicara pada keluarganya, lalu menemui Inka untuk membatalkan semuanya.

Ini mungkin keputusan paling sembrono yang pernah Ibra ambil dalam hidupnya, tapi Ibra juga tidak ingin mengambil resiko untuk di benci oleh anaknya di masa depan karna membiarkan ibunya berjuang sendiri. Ibra menyuaki Vanya, tidak, dia masih mencintai perempuan itu sampai detik ini. Jadi Ibra yakin, sekalipun dunia melarang, dia akan tetap ngeyel.

"Setelah ini mungkin akan banyak masalah, tapi aku mohon tetap di sebelahku. Aku akan mempertahankan kalian apapun resikonya, karna kalian adalah perjuanganku yang paling serius." Ibra menunduk, mencium perut buncit Vanya lama dengan membisikan kata-kata sayang pada calon buah hatinya.

Tidak ada kata yang lebih membahagiakan selain dia akan segera menjadi seorang ayah. Sekalipun kehadiran anaknya karna sebuah kesalahan, tapi Ibra yakin bayi di kandungan Vanya adalah anugrah juga jalan untuk menyatukan keduanya.

"Jadi Vanya, apa kamu mau bersamaku untuk membesarkan anak kita berdua?"

Sorry for typo.

Buat yang suka overthinking berlebih, denger tuh kata Mas Ibra 'Nggak semua yang kamu pikirkan begitu juga kenyataanya. Semua bisa berubah, sekalipun kamu nggak melewatinya.'

Semangat buat kalian semua yang menganggap dunia ini lucu tapi nggak buat ketawa.

Luvv❤❤

My best friend BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang