2

83.9K 1.3K 15
                                    

Selama hampir 3 bulan ini Vanya merasa dunianya baik-baik saja. Ibra menurutinya dengan menganggap apa yang terjadi di antara mereka waktu itu hanya sebuah kesalahan karna pengaruh alkohol. Saat tidak sengaja bertemu pun, Ibra bersikap seperti biasa, acuh tak acuh padanya.

Vanya tidak mau ambil pusing, karna baginya itu lebih baik. Mereka tidak memiliki hubungan—bahkan tidak pernah memiliki hubungan, jadi tidak ada alasan untuk saling menegur.

Dengar-dengar juga, Ibra dan Inka akan segera melangsungkan perniakahanya. Menurut Jessi, Kakanya itu akan menikah di awal tahun depan, berarti sekitar 2 bulan dari sekarang.

Vanya sendiri sedang mengurus keberangkatanya ke Belanda, dia mantap akan meneruskan kuliahnya di sana. Masalah Geo, lelaki itu pasrah dan menizinkanya. Asal, Vanya tetap memberi kabar agar hubungan mereka tetap baik baik saja.

Mendekati hari keberangkatan, Vanya disibukan dengan menyusun barang-barang yang akan dia bawa. Sudah 2 hari ini Vanya hanya di apartemen. Masalah pekerjaan, Vanya sudah menyerahkan pada dosen pengganti.

"Kenapa sih?" tanya Vanya pada Jessi. Sahabatnya itu terlihat cemberut dan mengerutu.

Tadi Vanya berniat mengambil pesanan makanannya di lobby, lalu bertemu Jessi dan mereka naik bersama. Jessi sendiri memang tinggal gedung apartemen yang sama dengannya, hanya berbeda lantai.

"Kesel." saut Jessi dengan dengusan. "Udah dibilang gue sibuk, masih ngeyel."

"Andri?"

Jessi menggeleng. Mereka keluar dari lift, dan masuk ke unit Vanya. Jessi berjalan ke ruang Tv, sedangkan Vanya ke arah dapur untuk memindah makanannya.

"Terus kenapa?" tanya Vanya yang kini sudah duduk di sebelah Jessi dengan sepiring besar kwetiau goreng dan sebotol air di depanya.

"Lo tau kan Mas Ibra mau nikah?"

Vanya mengangguk dengan mulai menyuap makanannya.

"Masak Inka neplon gue cuma suruh dateng ngepas baju pesta, dia pikir gue penganguran apa? Udah di bilang gue enggak bisa, ngeyel. Malah ngadu ke Mas Ibra. Bilang gue sok sibuk. Emang itu perusahan bapak gue? seenaknya pergi cuma ngepas baju."

"Tapi kan emang lo kerja di perusahaan bokap lo."

"Ihhh, Vanya." Jessi menendang paha Vanya dengan kesal. "Maksut gue, walapun itu punya bokap, atasan gue kan beda. Emang gue Mas Ibra, masuk-masuk langsung jadi CEO. Gue kacung Vanya, kacung. Mana Halim juga kayak taik, sukanya perintah-perintah."

"Kan bisa by WA."

"Dia nggak mau, takut kurang pas. Lagian bacot banget nggak sih? Belum jadi ipar aja sok ngatur. Jijik gue!"

Vanya menggeleng, merasa tidak memiliki saran. Lagipula, itu adalah masalah internal antara Jessi dan calon iparnya, yang berarti Vanya tidak bisa ikut campur karna merasa kurang pantas.

"Eh, lo kapan berangkat?" pandangan Jessi mengedar. Apartemen Vanya terlihat lebih rapi dari biasa, barang-barang pun terlihat kosong.

"Minggu depan."

"Yah."

"Kenapa?"

Jessi menggeleng, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Vanya yang terlihat masih sibuk menikmati makanannya

"Lo gendutan, ya."

"Emang." saut Vanya acuh. Dia juga sadar kalau tubuhnya sedikit melebar. Mungkin karna dia sudah tidak lagi aktif bekerja, dan ditambah kerap memesan makanan yang tidak mungkin ada di Belanda nantinya.

"Em, Van?"

"Apa?"

"Lo jadi nggak bisa dateng dong ke nikahan Mas Ibra."

My best friend BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang