6

56.2K 1.2K 41
                                    

Ibra mendudukan tubuhnya di atas sofa, menarik tubuh Vanya masuk ke dalam pelukanya. Perempuan itu menangis dan memberontak, tapi Ibra menahanya dengan terus mendekap semakin kuat.

"Aku minta maaf." ujar Ibra yang tidak merasa sakit atas penolakan juga tamparan Vanya.

Vanya masih saja menangis, tapi tidak lagi memberontak.

"Aku tau aku nggak patas berucap maaf, entah untuk masalah di hotel waktu itu, atapaun saat ini. Aku kalut Vanya, aku baru sadar ternyata saat itu aku paksa kamu. Walapun bagaimana kita bisa sampai ke hotel itu masih nggak bisa aku ingat."

Vanya masih terus menangis, wajahnya dia pedamkan pada dada Ibra.

"Sampai aku tau kamu hamil, rasanya semakin nggak karuan. Aku semakin merasa seperti bajingan saat mengingat waktu itu, apalagi kamu berfikir aku akan meminta kamu mengugurkanya. Aku nggak sebejat itu, Vanya. Aku nggak sebejat itu."

"Tapi Mas nggak pernah suka aku, mas selalu natap aku jijik."

"Aku nggap pernah seperti itu. Kalaupun aku seperti itu, mana mungkin aku jilat milikmu."

"Bukan cuma kejadian saat ini, tapi yang lalu."

"Kenapa membahas yang lalu?"

"Karana itu pandangan Mas ke aku. Jijik dan meremehkan. Apalagi setelah saat itu, Mas nggak pernah negur aku, sekalipun kita di tepat yang sama. Apa aku sekotor dan semurah itu di matamu, Mas?"

Ibra menghela nafas pelan. "Itu karna kamu lebih dulu."

"Aku? Kenapa aku?"

"Karna penolakan kamu buat Mas seperti itu."

Vanya menegang. Dia mengurai pelukanya dengan Ibra dan menatap lelaki itu.

"Saat itu Mas kasih kamu surat cinta, tapi kamu buang begitu aja. Sakit hati Mas, Vanya. Kamu buang di depan mata Mas. Kamu bahkan nggak ngomong apa-apa, dan pergi begitu aja. Besoknya, mas denger dari Jessi kamu meneruskan S2 ke luar negeri. Kamu pikir Mas harus bersikap baik sama orang yang udah tolak Mas?"

"Akuu, aku nggak pernah nolak, Mas Ibra."

Saat itu, setelah sesi foto bersama setelah wisuda, Vanya menghampiri Jessi yang terlihat cemberut karna belum bisa mengikuti jejaknya. Jessi masih tertahan karna belum menyelesaikan tugas akhir. Jessi datang bersama Ibra yang terliht gagah mengunakan kemeja panjang berwarna biru dan celana bahan. Tidak lupa juga bouquet bunga besar yang di berikan untuknya.

Vanya senang bukan main, tapi tidak lama Vanya harus pergi ke ruang dosen untuk mengurus berkasnya. Alhasil, karna terburu-buru Vanya sampai tidak sadar menjatuhkan tulisan yang ada di selipan bunga-bunga. Sayangnya, Ibra yang melihat menyangka Vanya membuangnya dan menolaknya. Padahal saat itu, Ibra sudah sangat yakin akan di terima, dia juga bahkan sampai menyiapkan cincin untuk melamar Vanya secara resmi.

Semakin sakit hati Ibra saat Jessi mengatakan Vanya pergi ke luar negri untuk meneruskan kuliahnya. Setelah menolaknya secara kasar, perempuan itu pergi meninggalkanya begitu saja?

Ibra hanya bisa mendecih, dan menganggap Vanya menjijikan. Sampai tanpa bisa di cegah, Ibra selalu menampilkan wajah tidak suka dan beci pada Vanya

"Aku bener bener nggak tau, nggak ada surat di situ." ucap Vanya meamstyikan. Karena seingatnya di bouquet yang Ibra berikan tidak ada kertas apapun.

"Itu karna kamu sudah buang."

"Aku nggak buang, Mas. Mungkin itu jatuh waktu aku buru-buru."

Pandangan Ibra langsung tertunduk. Mungkin saja itu benar, karna saat itu Vanya belari untuk menghampiri dosen yang terus memanggilnya tidak sabar.

"Maaf, Mas. Aku bener-bener nggak buang surat itu." Vanya meremas tanganya gusar. Seandinya saat itu Ibra langsung mengatakannya, mungkin tidak akan ada kesalahpahaman di atara mereka. Karna nyatanya, Vanya benar-benar tidak tahu jika ada surat di sela-sela bunga, hingga terjatuh tanpa sadar.

Ibra mengecup dahi Vanya yang berkeringat dan mengusap perut buncit perempuan itu. Padangannya mengedar, matanya mengamati apartemen Vanya yang perabotanya sudah tertutup kain. dua koper besar juga sudah berdiri di dekat pintu.

"Mandilah, nanti Mas antar."

Vanya terkesiap, dia baru sadar penerbangannya sebenatar lagi. Dengan segera Vanya bangkit dan berjalan ke arah kamarnya dengan tubuh telang. Dia harus cepat, sebelum ketinggalan pesawat.

Ibra mengehela nafas pelan, dia lega telah mengukapkan hal mengajal di hatinya. Selama ini Ibra memang menyukai Vanya, bahkan sesaat setelah Jessi mengenalkannya pada perempuan itu. Ibra merasakan detuman yang mengebu-gebu di dalam hatinya.

Dia ingin memiliki Vanya, bahkan menjadikan perempuan itu istrinya. 2 setengah tahun Ibra menunggu, sampai Vanya menyelesaikan kuliahnya dan Ibra memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada perempuan itu lewat sebuah surat. Nyatanya, surat itu terjatuh dan membuatnya salah paham.

Tidak ada yang tahu tentang perasaan yang Ibra rasakan selama ini, bahkan Jessi, adiknya itu tidak tau kalau dirinya menyimpan rasa pada Vanya.

Merasa kesalahpahaman telah selsai, Ibra mempertegas jika akan membuat perempuan itu balik menyukainya. Jujur, setelah mereka melakukan itu, Ibra sudah tidak memiliki gairah untuk menikah dengan Inka, dan berulang kali berniat membatalkanya. Sekarang dia memiliki alasan kuat untuk tidak menikahi Inka. Vanya dan anaknya.

Ibra masuk ke dalam kamar Vanya, sayup sayup dirinya mendengar suara air menyala dari arah kamar mandi. Merasa nafsu binatangnya kembali naik, Ibra membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak terkunci.

Tampak Vanya menoleh dengan guyuran air mengalir dan beberapa busan sabun yang masih tertinggal. Dengan memperhatikan tubuh telanjang Vanya, Ibra melucuti pakaiannya sendiri, dan bergabung dengan Vanya di bilik kaca.

Vanya membola melihat tubuh telanjang Ibra, gagah dan penuh otot. Warna kulitnya juga kecoklatan, sangat mengkilap sampai membuat Vanya meneguk air liur.  Belum lagi pusakan lelaki itu yang besar lagi tebal, berdiri tegak dengan urat-urat yang menonjol. Walapun bukan yang pertama, tapi saat ini Vnya melihat dengan keadaan sadar.  Terakhir kali, Vanya tidak begitu jelas melihatnya, dia juga merasa gugup dan takut.

"Mas, penerbanganku sebenatar lagi." ucap Vanya ketika Ibra sudah bergabung denganya. Tangan lelaki itu meraba-raba tubuhnya, terakhir di perutnya dan mengusap melingkar.

"Jangan pergi, jangan tinggalkan Mas."



Sorry for typo.

Sah nggak nih? Saya nggak suka liat orang bahagia masalahnya.

Luvv❤❤

My best friend BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang