4

62.6K 1.5K 18
                                    

Sembari menunggu Jessi membawakan pesananaya, Vanya kembali memastikan seluruh barang yang akan dia bawa tidak ada yang tertinggal. Tidak lupa juga Vanya memasukan beberapa berkas penting yang di perlukan.

Selesai dengan semua, Vanya berjalan menghadap kaca besar di dalam kamarnya yang mengarah pada jalanan kota. Besok dia sudah meninggalkan negara ini, yang berati meninggalkan seluruh masalah juga kenangan.

Vanya temenung. Pikiranya melayang pada kejadian beberapa hari lalu saat Ibra memergokinya. Lelaki itu sekarang sudah tau keadaannya, dan menyalahkannya karna tidak memberitahu sejak awal.
Padahal Vanya memang tidak pernah berniat memberitahu Ibra. Vanya juga tidak pernah berharap Ibra akan bertanggung jawab, atau mengakui anak dalam kandungannya.

Vanya cukup sadar dengan ucapanya saat meminta Ibra melupakan segalanya tetang apa yang terjadi di antara mereka saat itu. Yang berarti Vanya sudah menimbang segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Bukan Vanya tidak melakukan pencegahan, dan berharap mengandung anak Ibra. Vanya bahkan hampir menelan seluruh strip pil pencegahan, mengomsusmsi banyak nanas muda yang kata orang bisa menghambat laju pembuahan.

Vanya ketakutan setiap saat, dia stres sampai beberapa kali mendapat teguran dari Dekan karna tidak konsen dan kerap meninggalkan kelas tanpa alasan.

Dab Vanya tidak ingin mengambil resiko saat mengatakan pada Ibra tentang kondisinya, lalu lelaki itu malah memintanya untuk menggurkan. Vanya tidak ingin itu.

Lebih baik Vanya menelannya sendiri, dia cukup mampu menjadi orang tua tunggal. Vanya tidak akan menuntut Ibra, sekalipun lelaki itu berniat bertanggung jawab.

Toh, sepertinya Ibra memang tidak akan mengakui anaknya, terbukti setelah pertemuan mereka saat itu, Ibra tidak lagi datang.

Vanya menggeleng, merasa tidak perlu memikirkan Kakak sahabatnya itu. Seharusnya dia lebih fokus pada dirinya juga calon anaknya. Tidak peduli apa yang akan dilakukan Ibra nantinya, bagi Vanya itu tidak penting. Dia hanya ingin hidup damai, tanpa di recoki oleh orang yang tau keadaanya—kecuali Jessi sahabat yang selalu ada di sisinya. Tapi entah bagaimana jika Jessi tau jika anak yang ada di kandungannya adalah anak Ibra?
Akankah Jessi tetap menjadi sahabatnya, atau malah menuduhnya beniat menghancurkan pernikahan sang Kakak yang sudah di depan mata.

Lama temenung, akhirnya Vanya keluar dari kamar. Tenyata Jessi sudah ada di unitya, perempuan itu sibuk menata makanan di atas meja.

"Gue pikir lo tidur, di panggil panggil nggak jawab." ucap Jessi saat melihat Vanya berjalan ke arahnya.

"Nggak, cek barang bawaan," jawab Vanya dengan mendudukkan dirinya di depan Jessi. "Lo udah lama?"

"Baru. Udah siap semua? Mau gue bantu?"

"Nggak, udah."

"Besok lo berangkat sore, kan?"

Vanya mengangguk dengan menerima piring berisikan ayam bakar yang telah dia idamkan sejak semalam.

"Iya, jam 3an lah."

"Oke, gue bakal anter."

"Thanks."

Jessi mengangguk, lalu mereka mulai menikmati makanan dan sesekali membahas keberangkatan Vanya. Jessi salut dengan sahabatnya itu, sudah lah sangat pintar, tapi masih saja ingin bersekolah. Padahal, dengan mendapat luluan terbaik selama dua kali, Jessi yakin Vanya tetap menjadi orang hebat nantinya.

Banyak prestasi yang Vanya dapat. Bahkan saat sekolah pun Vanya tidak lepas dari segala organisasi-organisasi juga penelitian. Jika itu Jessi, dirinya pasti sudah mengibarkan bedera putih sejak awal. Menyerah.

Vanya adalah orang yang sangat hebat, pekerja keras dan tidak pernah mengeluh. Vanya juga sangat baik dan pengertian, mungkin itu alasan kenapa Jessi masih berteman dengan Ibu dosen cantik satu itu selama hampir 15 tahun ini. Selain ini Jessi menilai Vanya adalah orang yang sangat dewasa, tidak ingin menyusahkan dan selalu melakukan segalanya sendiri.

"Oh iya, Van," ucap Jessi yang baru teringat. "Ini ayam bakar gue bawa dari rumah nyokap ya, gue males masuk gang buat beli di tepat biasa. Lagian pas nyokap juga buat, jadi gue bawa."

"Pantes." Vanya kembali menambah satu potong ayam. "Enak banget, beda."

"Udah keturutan,kan, ngidamnya?"

Vanya mengangguk semangat dengan kembali menambah potongan ayam. Jessi memang sahabat terbaiknya, perempuan itu rela menyodorkan diri untuk menuruti segala tindak keinginan Vanya selama hamil.

"Salamin ya ke tante. Makasih, enak banget ayamnya. Aduhh, mana nggak bisa pamitan lagi."

"Pelan-pelan, Vanya. Gue udah, lo bisa abisin itu ayamnya." tegur Jessi yang memperhatikan Vanya lekat. Walapun selama mengenal Vanya adalah orang yang sangat ceria, tapi Jessi tau perempuan itu menyimpan banyak rahasia.

Vanya menyengir. "Sorry, soalnya ini enak banget."

"Gue jadi inget Mas Ibra." ucap Jessi dengan masih memperhatikan Vanya " Dia juga doyan banget sama ayam bakar, ini, kan, requestan Mas Ibra. Pas lo juga mau, jadi sekalian gue suruh Mama buat banyakan."

Vanya menelan makanannya sedikit keras, entah kenapa makanan yang semula nikmat berubah hambar.. Dia menatap Jessi yang juga menatapnya.

"Oh, ya?"

"Hemm. Makanan favoritnya sejak kecil."

...

Ibra sungguh tergugah melihat satu ekor ayam bakar dengan bumbu melimpah yang sudah tersaji di depanya. Tidak lupa juga sambal beserta lalapan yang tidak kalah jika di satukan. Ibra segera menikmatinya, dia tidak tahan karna telah mengidamkan makanan favorit masa kecilnya itu sejak semalam.

"Jessi nggak ikut makan, Ma?" Papa bertanya di sela-sela mereka menikmati makan malam. Padahal tadi dirinya melihat putri bungsunya itu pulang.

"Udah pulang dia."

"Anak itu." gerutu Papa.

Berbeda dengan Ibra yang walapun sudah memiliki rumah sendiri tetap kerap makan bersama orang tuanya, Jessi kebalikannya. Adiknya itu akan pulang jika ada maunya. Seperti tadi, hanya pulang untuk membawa makanan, setelahnya entah kapan mereka akan berkumpul.

"Lagi sama Vanya, Pa. Besok kan Vanya mau pergi, jadi mau puas-puasin berdua katanya."

"Kemana?" bukan Papa yang bertanya, melainkan Ibra yang sudah menyelesaikan makannya dengan waktu singkat, beralih menatap kedua orang tuanya bergantian.

Mama mentaap Ibra dengan alis terangkat, tumben sekali anak sulungnya itu ingin tahu tentang masalah sahabat putrinya. Bukan apa, Mama tentu sadar jika Ibra tidak pernah menyukai Vanya. Bahkan Ibra yang kerap menatap Vanya dengan tatapan permusuhan selalu Mama perhatikan.

Entah apa yang memebuat Ibra melakukan itu, tapi Mama yakin pasti ada yang pernah terjadi di antara mereka sebelumnya.

Padahal menurut Mama, Vanya adalah orang yang sangat baik, bahkan Vanya membantu Jessi yang sudah di nobatkan sebagai mahasiswa abadi untuk segera lulus. Vanya sangat pintar juga cantik, dan memiliki pekerjaan yang sangat mulia, seorang tenanga pengajar.

"Belanda."

"Ngapain?" lagi lagi Ibra bertanya dengan menatap Mama untuk menuntut jawaban.

"Dia kan mau lanjut S3."

Sorry for typo

Luvv❤❤

My best friend BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang