❛bad

79 16 0
                                    

Buak!

Maki jatuh terpelanting setelah ditinju sang kakak saat kedapatan pulang diam-diam pada tengah malam. Tidak puas sekali, tinju baru diberikan tepat pada ulu hatinya.

"Harus gue bunuh ya berandal-berandal itu biar lo kapok bikin masalah dan gaul sama mereka lagi?!!" murka Jay padanya.

Jay mendorong adiknya jatuh. Tidak berperasaan saat memberinya satu injakan kuat di perut Maki dan membuatnya menggelepar di lantai tak berdaya.

Tapi belum selesai, Jay menendang kepala Maki. Tangannya mengepal kuat melihat wajahnya yang secepat kilat berubah babak belur. Jay tidak kasihan. Menurutnya benar apa kata ayah mereka. Maki sekali-kali harus diberi pelajaran.

Cuma, Jay tidak pernah merasa puas hanya dengan melihatnya seperti ini. Maki itu anak cengeng. Dia benci melihat Maki lemah dan berpura-pura kuat. Dan kelakuannya selalu membuat Jay marah.

"Harusnya Mama nggak ngelahirin anak kayak lo. Lo pecundang, lo bajingan. Lo nggak bisa memenuhi harapan Papa dan cuma bisa bikin masalah!" Jay membuang ludahnya dan pergi dari sana, kembali ke kamarnya membawa amarah yang lebih besar.

Bahkan dari lantai satu, terdengar suara benda pecah dengan jelas.

Maki berguling menahan nyeri. Sayang sekali, cowok itu sudah mendapat luka disekitar perutnya sebelum sampai ke rumah. Lagipula bagaimana bisa dia diam saat rekan-rekannya tiba-tiba diserang oleh anak dari geng lain?

Maki akan jauh lebih merasa pecundang kalau hanya diam saja atau berlari kabur. Jadi dia melawan. Apa yang salah? Dia membantu teman-temannya karena mereka juga selalu membantunya tiap ada masalah. Atau mungkin Jay tidak akan memahami itu karena dia tidak punya teman. Jay yang kesepian, huft.

"Aduh..!" Maki terjatuh saat akan berdiri. Dia bahkan tidak bisa berjalan menuju tangga.

Tapi dia harus mengobati dirinya sendiri. Maki tidak bisa mengganggu Haerin lagi di tengah malam ini. Cowok itu sedikit tersenyum mengingat pagi ketika dia bangun dengan selimut yang Haerin beri.

Haerin..Maki kangen—eh, kok????

Maki menepisnya. Barusan apa yang dia pikirkan? Maki menggelengkan kepalanya kuat berkali-kali. Dia tidak boleh seperti ini. Maki akhirnya memaksakan diri untuk bisa bangkit dan menaiki tangga satu persatu. Sepanjang jalan menggerutu, kenapa tangga ke lantai dua ada begitu banyak.

Maki sampai dikamarnya dengan helaan nafas berat. Ini terlalu melelahkan. Bukan jalannya menuju ke lantai dua—tapi hidupnya, hidupnya yang seperti ini. Apa benar, sebaiknya Maki menyerah?

.  ..  .

Padahal bagus kalau malam berlangsung lebih panjang atau Maki tidak bangun lagi, tapi pagi itu ia kembali bersitatap dengan matahari yang bersinar terang di sela gorden kamarnya.

Cowok itu bangun dan menyadari tubuhnya lebih terasa seperti mobil rongsokan yang sudah hancur setiap bagiannya sampai-sampai Maki tidak kuat untuk bangkit.

"Ah, sial." Maki menatap layar ponselnya. Hampir pukul tujuh.

"Bangun bangsat! Lo harus pergi sekolah, jangan cuma bikin masalah!!"

"Iya tau anjing." gumam Maki geram. Walau hampir nggak pernah membalas pada Jay, Maki tetap punya amarah yang dia tahan.

Kalau sama-sama tersulut, Maki mungkin akan berakhir di alam kubur karena dia dan Jay sangat berbeda jauh. Maki akhir-akhir ini juga baru belajar berkelahi pada Sungjun yang sabuk hitam taekwondo dan Ayden yang pernah ikut karate sewaktu kecil.

Nanti bisa saja dia membalas Jay, tapi entah kenapa, Maki tidak tega.

"Ma, mama bilang aku harus jaga abang dari papa. Tapi abang aja benci banget sama aku ma?" Maki menggerutu dan mendesah frustasi. Kemudian dia bangun meski hasilnya seluruh tubuh Maki seolah tidak bertulang."Aku sekolah dulu deh ma."

confidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang