Catatan Keduabelas

155 18 5
                                    

Bahkan sekedar waktu istirahat tidak diberikan

.

.

.

"Selamat ulang tahun, Wistara."

Kalya dengan ucapan lirih dan kue kecil di tangannya, di antara kehancuran ia masih ingin merayakan ulang tahun sahabatnya. Wistara tersenyum kecil, ia lebih dulu berdoa lantas meniup lilin, memeluk Kalya yang masih lemah di posko kesehatan karena rumah sakit terkena bom bunuh diri dari para teroris.

"Kuenya darimana?" Wistara bertanya penasaran, Kalya masih antara sanggup tak sanggup untuk berdiri dan bersosialiasi karena betapa hancur hatinya mengetahui sang buah hati gugur, sangat tidak memungkinkan Kalya membuatnya sendiri atau membeli sendiri.

"Mas Surendra, walau merepotkan," Kalya tertawa kecil, mengingat ia meminta tolong pada Surendra yang jelas - jelas bertugas, tapi, Surendra tetap menuruti ucapan Kalya demi menuruti kesenangan Kalya yang masih sensitif perasaannya.

Wistara hanya tersenyum kecil lalu menggelengkan kepala. Kue kecil sederhana dalam kotak kardus, ia potong menjadi empat lalu makan masing - masing dua potong dengan perasaan senang. Tak apa kalau harus merayakannya kecil - kecilan, lagi pula untuk apa dirayakan meriah? Dirayakan secara kecil - kecilan bersama orang tersayang rasanya sudah lebih dari cukup.

Benaknya seketika mengingat Syandana dan Frisa yang belum ia temui sejak rumah sakit dan beberapa rumah ibadah runtuh begitu saja. Ia merindukan mereka berdua, sosok yang sangat ingin ia lihat baik - baik saja tanpa luka, dengan senyuman serta mata yang masih berbinar.

Ia khawatir dengan mereka berdua, terutama Frisa yang masih terlalu kecil kalau harus menjadi tawanan para teroris jahat itu. Tapi, ia sangat yakin bahwa Frisa sudah pasti dilindungi oleh ayahnya, walau begitu berat beban Syandana sebab selain Frisa, ia juga harus melindungi yang lainnya.

Ia terus berdoa untuk keselamatan mereka berdua, tak rela ia kalau harus menyaksikan tubuh mereka terbujur kaku di depan mata, kalau bisa, lebih baik ia yang begitu. Lebih baik ia yang mati demi mereka, daripada mereka yang mati demi dirinya, rasanya tak akan rela menghadapinya.

Tak sengaja ia menumpahkan air mata ketika mengingat Syandana dan Frisa, segera dengan cepat ia menghapus air matanya. Kalya yang melihatnya segera menepuk bahu Wistara, dan Wistara hanya menggelengkan kepala menjawab, seolah mengerti apa yang hendak Kalya pertanyakan padanya.

Wistara perlahan berdiri dari duduknya setelah menghabiskan kuenya, pamit pada Kalya untuk mencari udara sejenak seraya menikmati senja walau tak begitu terlihat karena tembok tinggi menghalangi mereka. Wistara menatap pada langit yang menyilaukan mata, langit berwarna jingga yang selalu menenangkan bagi sebagian orang yang menikmati senja.

Semilir angin menerpa wajah, menghembus surai yang susah payah ia tata rapi karena mulai memanjang. Wistara berdiri tegak, tanpa ada yang menegur atau penasaran dengan apa yang Wistara lakukan, seolah mereka sangat mengerti bila Wistara tengah butuh ketenangan setelah dirinya khawatir dan gelisah mengingat Syandana dan Frisa.

Mereka berdua begitu berharga bagi Wistara, apalagi Syandana, sosok yang sudah membuat janji akan menemaninya sehidup semati. Syandana yang membuatnya bangkit setelah kehilangan kedua orangtuanya, walau ia dulu benci setengah mati karena hubungan mereka hasil perjodohan alih - alih agar Wistara lupa tentang kematian orangtuanya.

Wistara menyunggingkan kekehan kecil mengingat bagaimana ia membenci bila harus melihat wajah Syandana, tapi, lama - lama ia menemukan sisi atraktif dari laki - laki dengan bahu lebar itu. Ia mulai mencintai Syandana setelah beberapa bulan Syandana tanpa mundur mencoba dapatkan hatinya, bahkan Syandana sampai rela sakit hati melihat Wistara dengan berani punya pacar ketika cincin tunangan sudah tersemat.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang