Catatan Keenam

167 26 2
                                    

Tanpa kamu di sisiku, aku tidak akan tahu rasanya terlindungi

.

.

.

Sinar matahari yang menembus jendela, membangunkan Wistara yang masih dalam dekapan Syandana. Tak berniat bangun, Wistara merapatkan dirinya pada tubuh Syandana seraya memejamkan mata, layaknya bayi yang sedang mencari kehangatan di tubuh ibunya.

Pukul tujuh pagi, di mana udara masih dingin, namun matahari sudah sedikit naik, membawa kehangatan pagi hari walau angin dingin masih menerpa. Dua insan tanpa pakaian yang tengah saling mendekap, setelah melepas rindu dan melepas beban yang memberatkan pundak, hanya tertutupi selimut yang sejak semalam membungkus tubuh mereka.

Setelah sejenak memejamkan mata, Wistara akhirnya mencoba melepaskan dirinya dari dekapan lengan kekar Syandana, dengan lembut mengelus lengan atas Syandana agar Syandana juga ikut terbangun, mengingat Syandana harus bertugas. Tak butuh waktu lama hingga Syandana menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Wistara, mencoba bangkit dengan aroma khas dari orang yang sudah tiga tahun bersamanya.

 "Masih enggan bangun, boleh lepas tanggung jawab satu hari ga?" suara serak berat yang membuat Wistara mendengus kesal, lantas menyentil keras telinga Syandana hingga Syandana mengaduh kesakitan.

"Abdi negara kok malas, bangun, mau jemput Frisa juga, aku punya jadwal mengajar, jangan aneh - aneh, manjanya disimpan," ia dapat mendengar suara geraman tanda menolak dari ceruk lehernya, membuat ia lantas mendorong kepala Syandana agar menjauh dan bangkit dari posisinya.

Seraya memungut pakaian yang tergeletak di bawah tanpa hiraukan Syandana yang masih terkapar tak berdaya di ranjang dengan mata yang masih terpejam, Wistara terus mengingat semua hal yang harus ia lakukan. Sedikit pegal dirinya walau semalam Syandana begitu lembut padanya, tapi tetap saja, sekian tahun hanya sekedar peluk cium membuatnya jadi kurang terbiasa.

"Selamat hari anniversary ke-tiga tahun, Wistara."

Wistara yang tengah memakai bathrobe sebab hendak mandi sontak membalikkan badan, dilihatnya Syandana yang sudah duduk seraya tersenyum ke arahnya. Tidak, Wistara tidak lupa dengan hari ini, malah ia yang berpikir kalau Syandana lupa, melihat betapa sibuknya Syandana hingga dilihat Syandana seolah lupa, walau tahun dulu sempat hanya memberi kecupan ringan dan tentunya surat yang manis dibaca.

"Aku kira... aku kira mas lupa," lirih ucapnya, hingga dapat ia lihat Syandana yang rupanya hanya tanpa pakaian atas itu membuka laci nakas, lantas berlutut di hadapannya. 

Sebuah kalung dengan bandul bunga mawar putih yang dilapisi dengan emas platinum, serta cincin berlian yang terlihat mahal kini disematkan di jari tengahnya. Syandana berdiri dari posisi berlututnya untuk memasangkan kalung itu, yang tak sama sekali Wistara tolak, sebab Wistara sudah sejak lama menginginkan kalung yang hanya bisa dibeli di luar area itu.

"Cantik," senyuman yang merekah setelah memasangkannya pada Wistara yang tubuhnya hanya terbungkus bathrobe.

"Mas nekat?" Syandana menganggukkan kepala sebagai jawaban, membuat Wistara memberi tatapan bertanya tentang bagaimana Syandana mendapatkan barang bagus ini sedang di luar saja tidak aman sama sekali.

"Kebetulan, penjualnya adalah salah satu dari beberapa orang yang diinterogasi karena dicurigai bekerja sama dengan para teroris, mereka punya pasar sendiri yang katanya aman dari Kura - Kura Ninja. Penjual itu katanya mengenal kamu dan pernah melihat kamu dengan saya, jadi beliau memberi dua barang ini secara gratis. Tenang, barang ini sebelumnya sudah diperiksa di dalam markas dan aman, tidak ada hal mencurigakan ditemukan di sana, penjual itu benar - benar jujur," penjelasan panjang Syandana membuat Wistara sedikit lega, mendengar diberi secara gratis membuat Wistara curiga sejenak, tapi ketika tahu sudah diperiksa dan aman, rasa curiga itu seolah menguap seketika.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang