Catatan Ketujuh

149 21 7
                                    

Mengapa aku tidak bisa tenang?

.

.

.

Sudah dua minggu sejak kemarin, dan seorang Wistara Najandra tidak lagi terbangun tengah malam, mendapat teror, dan hidup dengan begitu tenang. Kamera kemarin sudah aman dalam Pasulit, dan sejak saat itu entah mengapa mendadak ia tenang sekali menghadapi hidupnya.

Tapi ia sedikit bersyukur, tidak ada lagi Frisa yang terbangun tengah malam, dan tidak ada lagi kejadian berdarah.

Kali ini ia terbangun tengah malam karena batuk yang menyiksanya dan cairan putih yang keluar begitu aja. Syandana tentu saja belum pulang, sebab Syandana menjalani tugasnya seperti kemarin kemarin, antara hidup dan mati berjaga di luar gerbang.

Wistara memegang kepalanya, pening menyerangnya, dan ia merasa kepalanya seperti ditusuk - tusuk entah mengapa. Wistara kembali memuntahkan cairan putih yang tadi sempat ia tahan, hingga ia dapat mendengar suara tapak sepatu yang mendekat ke arahnya, serta pijatan lembut pada tengkuknya, dan parfum khas Syandana yang menyeruak di indra penciumannya.

"Sudah?" Wistara menganggukkan kepalanya, segera Syandana gendong ia yang begitu lemas seolah tak berdaya, layaknya seorang anak koala yang menempel pada induknya.

Syandana mengambil air hangat yang ada dalam termos, menuangkannya pada salah satu gelas kaca yang legendaris di tiap rumah. Syandana memberikannya pada Wistara yang ada pada gendongannya, dan Wistara yang juga kehausan segera meminum dengan tandas air yang diberikan Syandana, lantas memberikannya kembali pada Syandana dan Syandana taruh gelas itu di samping termos.

Syandana lebih dahulu mendudukkan Wistara di pinggir ranjang di mana terdapat Frisa yang masih tertidur dengan memeluk boneka beruangnya, baru ia melepas sepatu serta kaos kakinya, menaruh tas yang membebani pundaknya, dan hanya melepas seragam atas menyisakan kaus hitam.

"Enakan? Mau tidur lagi?" Wistara menggelengkan kepala, membuat Syandana lantas mengernyit heran.

"Mau ngapain lagi? Ini sudah larut malam, Wistara," Wistara menghela napas berat seraya mengerucutkan bibirnya tanpa alasan, membuat Syandana semakin dibuat bingung oleh sikap manja istrinya yang muncul tiba - tiba.

"Heung.." Syandana memejamkan matanya lantas menghela napas pelan, sebuah kode yang selalu digunakan Wistara bila Wistara menolak ajakan Syandana, dan pastinya akan banyak permintaan yang dikatakan Wistara.

"Pangku," Syandana menaikkan salah satu alisnya, tumben sekali, biasanya hanya menginginkan peluk dan kecupan manis, tapi akhirnya Syandana menuruti permintaan Wistara, dan Wistara langsung tenggelam dalam dekapannya layaknya seekor anak kucing yang baru saja bertemu induknya.

Dan Syandana tidak akan membiarkan tangannya hanya mendekap, tentu usapan lembut pada surai serta punggung Wistara ia berikan, buat Wistara semakin tenggelam dekapan. Suhu tubuh Wistara tidak seperti suhu normal, bahkan Syandana dapat rasakan betapa kini Wistara mendusal dalam dekapannya, berusaha mencari kehangatan dengan tubuhnya yang menggigil hebat.

"Pusing.." Wistara menggumam dalam dekapan Syandana, menyadarkan Syandana bahwa kini Wistara sedang mengalami demam tinggi, dibuktikan dengan ia yang merasakan napas panas yang Wistara keluarkan serta suhu tubuh yang kian melampaui batas wajar.

"Ke rumah sakit, ya? Suhu tubuhmu tinggi sekali," Wistara menggeleng kuat, malah mengeluarkan isak tangisnya sebab ia tak dapat menemukan kehangatan dalam tubuh Syandana dan tubuhnya kian menggigil.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang