Catatan Kelimabelas

287 16 10
                                    

"Penyesalan tak terduga, sepatutnya saya mendapatkannya."

.

.

.

Semua hal yang ada di sana, merupakan bayangan Syandana semata. 

Syandana menatap kosong ke arah pintu sel yang membatasi dirinya dengan dunia luar. Ia harusnya menarik tangan Wistara saat itu, ketika Wistara bersimpuh di depan Zulfi yang tergeletak tak bernyawa. Rencana berjuang bersama hanyalah impian ampas semata, nyatanya, ia tertangkap duluan ketika hendak menghampiri Wistara yang hampir mati di tangan mereka.

Sejak mereka ditangkap, kabarnya area dan bagian luar mulai aman, tak ada lagi drama penembakan, tersisa kenangan perihal peperangan yang menyesakkan. Mereka yang dirundung trauma enggan keluar dari area, takut akan terjadi hal serupa, walau area sudah hancur sedemikian rupa sebab peperangan yang mendadak.

Kejadian itu bertepatan dengan tanggal 30 September, malam hari, di mana mereka seharusnya memperingati Gerakan 30 September malah menghadapi para pengkhianat yang hampir membuat mereka mati. Tapi, tak apa, yang penting kini suasana aman walau mereka taruhannya, dan mereka yang harus mati .

Penculikan itu sungguh ilegal, dengan menggunakan obat bius yang tentu membahayakan nyawa manusia. Syandana kala itu melihat Wistara setelah berhasil menembaki tiap orang yang mendekat ke arahnya, ia hendak menghampiri Wistara ketika melihat air mata jatuh dari netra cantik Wistara, memeluknya, kalau bisa, ia akan membawa Wistara pergi kembali ke posko kesehatan.

Nyatanya, Syandana yang lengah hanya karena melihat Wistara tertangkap begitu saja oleh mereka, tak dilepas bahkan ketika Syandana memberontak. Pandangan Syandana memburam setelah rasakan sakit di lengan atas kirinya, ia tak dapat lagi melihat apa yang terjadi pada Wistara, namun, ia melihat mereka mengerumuni Wistara, dan ketika  matanya tertutup, suara tembakan keras yang ia dengar, membuahkan penyesalan tak bermakna dalam dada.

Syandana hampir gila, gila memikirkan apa yang terjadi di area, tapi, ia juga sedikit lega tahu area aman, berarti Wistara dan Frisa juga sudah aman, mungkin. Ia hanya berdoa dalam hati, berdoa semuanya akan baik - baik saja setelah ini.

Ia sedikit berjengit kaget ketika pintu sel dibuka. Dengan tidak manusiawi, para pengkhianat itu menyeret tubuhnya yang hanya menggunakan celana panjang itu dengan tangan yang diborgol ke belakang. Syandana hanya bisa berjalan pasrah mengikuti mereka, daripada ia harus ditembak di kaki seperti kemarin karena memberontak dibawa.

Entah ini ruangan pengap apa tempat tubuh Syandana dilempar begitu saja hingga tersungkur di tanah, tepatnya di depan sepatu orang yang kini berdiri dengan tegaknya. Syandana mendongakkan kepala, menatap terkejut ke arah wajah sosok yang berdiri. Surendra berdiri dengan tegak di sana, menatap kasihan ke arahnya yang tak berpakaian atas, sedang Surendra masih menggunakan seragam lengkap beserta senjata di tangannya.

"Kapten..?"

"Diam."

Suaranya dingin, berat, mencekam, berbeda dengan tatapannya yang sendu nan teduh. Hendak Syandana kembali bicara, Surendra menodongkan pistolnya lantas menggelengkan kepala, mengisyaratkan Syandana untuk tak bicara apapun sebelum ia mati di tangan Surendra.

Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang Syandana, bersamaan dengan suara tepuk tangan dan tawa yang menggema. Itu suara presiden mereka, presiden yang menghancurkan negaranya sendiri entah karena apa, presiden yang rasanya mereka salah pilih pada pemilu 2024.

Presiden anti-kritik dengan ratusan janji manis, presiden yang kabarnya dulu melanggar HAM pada tahun 1998 itu kini berdiri di sini. Jenderal yang ditugaskan menculik dan membunuh para aktivis pada tahun itu, jenderal yang dicabut kuasanya dari TNI karena dirasa melanggar HAM, dan kini ia melanggarnya lagi entah atas apa.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang