Catatan Keempat

169 26 2
                                    

Aku ingin semua mimpi buruk ini berakhir

.

.

.

"Wistara, bangun."

Wistara sontak menarik napas begitu kencang seraya membuka kedua matanya kala suara Kalya terdengar di telinganya. Ia yang semula bersandar di tiang saung sontak menegakkan badan, rupanya ia tertidur sejak selesai mencuci sebab terlalu lama melamun.

"Aku kira setelah aku tinggal kamu kembali, malah tidur di sini, pantas para pemuda mau kemari malah putar balik," ocehan Kalya lantas membuat Wistara menggaruk tengkuknya sebab malu, sekaligus memijat punggungnya yang pegal karena ia tidur dalam posisi duduk dalam jangka waktu lama.

"Memang... sekarang jam berapa?"

"Tiga sore."

Wistara melupakan rasa pegalnya dan sontak berdiri dari duduknya, membuat Kalya ikut terkejut kala melihat Wistara panik seraya membawa bak hitam yang sejak pagi bersamanya. Kalya hanya geleng kepala seraya menyesap teh hangatnya kala melihat Wistara langsung turun ke bawah, setengah berlari sebab panik tak karuan.

Tentu saja Wistara panik, ia melupakan semua jadwalnya, bahkan Frisa yang bersama empat pemuda. Wistara menepuk kepalanya sendiri saking paniknya, seharusnya hari ini ia pergi mengajar di Sekolah Dasar juga hampir melupakan Frisa yang tengah sakit, entah setan mana yang meniup matanya, ia malah tertidur di sana.

Kala sampai di unitnya, ia melihat empat pemuda itu tengah bermain kartu UNO di ruang keluarga, bersama dengan Syandana yang sudah tidak pakai baju seragam, namun celananya tetap celana seragam. Dengan Frisa yang duduk di pangkuan Syandana dengan plester demam di dahinya, mereka bermain layaknya orang gila, bila kalah akan saling mencoret wajah dengan krim wajah, bila menang akan lompat kegirangan sampai berdiri dari duduknya.

"Permisi.." Wistara mengetuk pintu yang terbuka, sontak membuat mereka menoleh ke arah Wistara yang kini berdiri membawa bak hitam yang ada di lengan kirinya.

"Akhirnya datang juga yang tadi tidur di saung," Syandana menyahut, yang membuat Frisa sontak heboh ingin melompat ke gendongan Wistara kala melihat Wistara.

"Tolong jangan diingatkan, ya. Aduh - aduh Frisa sini sayang," Wistara mengambil alih Frisa dari pangkuan Syandana, masih dengan bak hitam yang ada di lengan kirinya.

"Sudah, lanjut sana, jangan dihabisin, ya, krim wajahnya, itu mahal."

Melihat ucapan yang Wistara tekan seraya netra yang mendelik ke arah mereka membuat mereka sontak mengangguk cepat, takut Wistara melempar bak di lengan kirinya bila mereka tak menyahut. Wistara lantas tersenyum manis ke arah mereka, lebih dulu menaruh bak hitam yang tadi ia bawa ke kamar mandi, lantas pergi ke kamar untuk menidurkan Frisa yang sudah sayu matanya sebab mengantuk.

Mata sayu itu perlahan menutup seiring Wistara mengusap surai Frisa, seraya Frisa menghisap dot berisi susu yang rupanya masih ada. Tentu Wistara memeriksa dahulu apakah masih layak dikonsumsi oleh Frisa atau tidak, sebab dot ini tertutup di suhu ruang, takut kalau bau atau semacamnya.

"Ma, ma," Frisa menaruh dotnya di sampingnya, lantas kembali duduk dan lolos dari usapan Wistara.

"Kenapa? Kok bangun lagi?" Frisa mendekat ke arah Wistara, mencoba berdiri walau sedikit sempoyongan, tiba - tiba menangkup wajah Wistara seraya tertawa, menampakkan giginya yang tidak rapi sama sekali efek minum susu menggunakan dot.

"Ma antik, isa cayang mama! (Mama cantik, Frisa sayang mama!)" Pekikan yang sedikit keras diiringi Frisa yang kini mengecup kedua pipi Wistara, membuat Wistara terkejut dibuatnya.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang