Hari ini tepat setelah pemakaman Narel, mereka berkumpul di ruang tengah di tempat biasanya. Keenam lelaki tersebut sama-sama menundukkan kepala, ingin membuka pembicaraan tentang kematian sang sahabat, tapi tenggorokan mereka seakan tercekat. Tak menyangka niat mereka yang hanya pergi untuk liburan, tetapi ujungnya membawa Narel kepada kematian.
Senyum yang biasanya menyelimuti suasana rumah itu, merasa hangat ketika mendengar suara lembutnya, canda tawa yang disertai dengan tingkah konyol, mampu membuat siapapun bahagia jika berada didekatnya, sekarang sudah hilang bagai ditelan samudera.
Tak ada lagi Narel yang selalu mengikuti lomba-lomba kepramukaan, tak ada lagi senyuman dengan gigi kelincinya. Benar, kematian memang kehendak Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada yang bisa mencegahnya. Tapi kenapa harus Narel? Kenapa harus mereka yang merasakan hal ini?
"Kita harus cepat menemukan pelakunya." Daren meletakkan tangan di atas meja, sambil melirik kearah netra sahabat-sahabatnya satu persatu.
"Renan, Ken, kalian lebih baik jujur kalau kalian bekerjasama buat ngebunuh Narel." Alvaro bersuara tajam, kedua tangannya mengepal menjadi satu di bawah dagunya.
Ken yang pada dasarnya memang emosian pun meralat ucapan Alvaro yang menghakimi dirinya dan Renan. "Kalau gak ada bukti jangan nuduh sembarangan, dong!"
"Ken! Di samping jasad Narel semalam ada kerang yang terhambur, ditubuh Narel juga ada luka tusukan." Jelas Rafka.
"Hubungannya gue sama Ken, apa?!" Renan angkat bicara. Ia menatap tajam kearah Rafka, bak mata elang yang membuat lelaki berumur lebih muda dari Renan itupun meringkuk takut.
"Kenzie semalam bawa pisau. Mungkin aja dia menggunakan itu buat membunuh Narel. Alasannya minta Narel bawa buah-buahan dan lo memanfaatkan situasi itu, bekerjasama dengan Renan buat ngebunuh Narel karena awalnya Renan juga iri sama Narel sebab Narel jago main basket." ucap Alvaro yang tetap teguh pada pendiriannya bahwa Renan dan Kenzie lah dalang dari semua ini.
"JAGA OMONGAN LO, BRENGSEK!" Renan sudah naik pitam, dia memukul meja dihadapannya, membuat semua orang terlonjak kaget.
Seno mengelus bahu Renan untuk menetralkan emosi sang sahabat seraya berkata dengan suara serak khas orang yang habis menangis sesenggukan. "Bisa nggak, jangan berantem? Narel bakalan nggak tenang kalau kita di dunia jadi terpecah belah karena kepergiannya yang tiba-tiba. Tolong selesaikan masalah ini pakai kepala dingin, jangan biarin emosi menguasai kalian, oke?"
"Alvaro, lo yang lebih tua disini. Harusnya lo bisa berfikir dewasa, bukan malah menyudutkan Renan sama Ken kayak gini." Lanjutnya lalu menghela nafas panjang.
Alvaro mendengus kesal sambil mengacak rambutnya frustasi dan meraup wajah dengan kasar. "Terus kita harus gimana? Kalau pembunuhnya nggak cepet ditemuin, Narel bisa gak tenang perginya."
"Justru itu. Kita harus tenang dulu. Kalau kalian sama-sama saling menyalahkan, masalah ini bisa nggak bakal selesai sampai kapanpun. Di sini kita butuh kerjasama buat mengusut tuntas kasus ini." Seno berujar kembali.
"Ada yang ketemu Narel sebelum dia ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa?" Daren berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Gue yakin pembunuhan ini udah direncakan."
"Kenapa kita nggak minta tim penyelidik aja buat menyelidiki kasus kematian ini?" Tanya Alvaro.
"Polisi udah ketempat kejadian. Tapi mereka gak nemuin bukti apapun yang mengklaim kalau Narel dibunuh. Pelakunya punya akal yang jenius. Dia mungkin membuang barang bukti supaya sidik jarinya gak bisa ditemukan. Begitu juga di tubuh Narel, Nggak ada tanda-tanda sidik jari orang lain di tubuhnya." Jelas Daren panjang lebar.
"Yah, sebelum kejadian, gue liat Narel lagi motret langit disamping toilet umum. Tapi, setelah itu gue gak tau apa-apa lagi karena gue mau pergi cari kelapa muda, kan," ungkap Seno seraya mengetukkan kakinya ke lantai.
"Lebih baik kita tunggu dulu. Lambat laun semuanya akan terungkap, kita bakal tau siapa pembunuhnya. Tapi tolong, kalian juga harus tetap menyelidik, kumpulin bukti-bukti yang kalian dapat agar bisa kita jadikan satu dan menemukan pembunuhnya," ucap Alvaro.
Disaat semua sedang membahas siapa pelaku dari pembunuhan itu, ada dua lelaki yang sama sekali tidak berkutik. Renan dan Kenzie. Mereka berdua melirik satu sama lain sebelum akhirnya menundukkan kepalanya.
"Intinya gue nggak tau apa-apa," ujar Renan berkata dengan pelan.
"Ini bukan perihal tau dan nggak tau. Kalau nggak tau, gue sama Daren juga sama. Bayangin aja lagi asyik-asyiknya santai nikmatin hembusan angin pantai eh tiba-tiba Rafka teriak dari arah toilet umum, nyuruh kita semua buat ke sana. Pas udah nyampe, kita malah liat pemandangan mengerikan yang sama sekali kita semua gak pengen itu terjadi. Narel..." Alvaro tak dapat melanjutkan ucapannya kala mengingat kejadian semalam.
"Alvaro, gue tahu ini susah buat kita. Tapi, mau nggak mau kita harus bisa ikhlas." Rafka menyibakkan rambut yang menutupi mata Alvaro.
Kita harus belajar buat ikhlas? Itu mungkin hanya angan-angan belaka yang akan mereka lakukan jika berkunjung ke makam sahabatnya saja. Lagipula, mereka tidak akan ikhlas jika pelakunya belum ditemukan dan merasakan hal yang sama seperti apa yang Narel rasakan.
"Kalau ketemu pembunuhnya, gue bakal ngebunuh balik orang itu," gumam Seno yang dapat didengar oleh telinga teman-temannya.
Kenzie menatap pria dengan sweater rajut yang kini duduk di kursi seberangnya. Seno yang menyadari jikalau Kenzie menatapnya, dahinya langsung berkerut. "Kenapa? Gue salah ngomong?"
"Bukan salah ngomong, gue cuma kaget aja pas lo bilang gitu."
"Ken, kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kejahatan dibalas dengan kejahatan. Kalau kejahatan dibalas dengan kebaikan, itu rasanya gak adil buat Narel." Seno menutup matanya, merasakan sakit mendalam yang memaksa masuk kedalam ulu hati nya. "Untuk selanjutnya, gue nggak mau masalah ini dibawa ke jalur hukum. Gue pengen kita yang memecahkan kasus ini dan menemukan pelakunya, biar gue puas."
"Nggak bisa gitu, dong, Sen. Kita masih butuh aparat kepolisian agar kasus ini cepat tuntas. Tapi, di sini kita juga bantu menyelidiki," bantah Alvaro yang lalu mengerutcukan bibirnya usai berbicara.
"Oke, lah... Gue pasti bisa nemuin pelakunya, Al." Seno melanturkan kata-katanya dengan penuh keyakinan."Kenapa lo bisa seyakin ini?" Rafka mengarahkan pandangannya kepada Seno.
"Cita-cita gue pengen jadi detektif." Jawab Seno sambil menampilkan senyuman lebarnya.
"Semoga terwujud, ya, Sen." Rafka menepuk pundak Seno sebanyak dua kali sebelum berbicara lagi. "Oh iya, gue mau pulang dulu, Ibu gue udah nyariin, beliau pasti takut anaknya yang ganteng ini kenapa-napa," candanya lalu keluar dari rumah itu.
"Makasih, Raf. Hati-hati, ya." Seno tersenyum hangat.
"Siap!" Rafka menjawab seraya mengacungkan jempolnya.
"Ibunya Rafka takut anaknya kenapa-kenapa? Kayaknya gue udah tau siapa korban selanjutnya setelah Narel."

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
Random[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...