4 b

452 30 0
                                    

"Sudah waktunya bagimu untuk dievakuasi." ucap Devondion.

"Kenapa?" Kalista mempertanyakan keputusan pamanya.

Seluruh persiapan telah selesai dilakukan. Meski ada longsor salju, dampaknya akan sangat berkurang. Tak ada alasan bagi dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Lagipula, Ia ingin melihat bencana itu secara langsung.

Di kehidupan lalu yang dia jalani, timbulnya longsor salju yang memakan banyak korban menjadi awal munculnya rumor buruk tentang dirinya. Pembawa malapetaka. Itulah sebutan yang mereka sematkan kepadanya.

Bukan hanya kedua orangtuanya yang menjadi korban. Namun dia juga menyebabkan orang-orang yang tak berdosa mati hanya dengan kehadirannya. Awalnya itu semua memang hanya rumor. Namun dengan banyaknya mulut yang berbicara, rumor berubah menjadi fakta yang dipercaya.

Hanya karena kebetulan dirinya berada di daerah yang terkena bencana alam, dia mendapat predikat sebagai pembawa malapetaka. Tak ada simpati, tak ada belas kasih dan tak ada tangan yang terulur untuk membantu.

Ia dijauhi, dia dicemooh dan dirinya mendapat perlakuan buruk dimanapun kaki melangkah. Dan Itu semua karena ulah mereka. Para ular berbisa yang tak punya hati.

Sebanyak apapun dia memberi, semua itu tak berarti bagi mata yang tamak. Dengan kekuasaan dan kekayaan di depan mata. Mereka tak perduli jika harus menginjak-injak orang lain.

Meski begitu, bagaimana mereka bisa begitu mendeskreditkan anak kecil yang baru saja kehilangan kedua orangtuanya. Bagaimana mungkin mereka begitu tega menorehkan luka baru pada gadis kecil yang belum sembuh dari luka lama akibat ditinggal oleh orang-orang terkasih.

Apakah mereka pernah berpikir jika apa yang mereka lakukan bisa membuat seorang anak kecil kehilangan kepercayaan dirinya? Rasa rendah diri, malu dan ketidakmampuan untuk bersosialisasi. Semua itu adalah awal dari mimpi buruknya.

Ia takut akan mata yang menatapnya penuh benci. Mengapa orang-orang itu menyalahkan nya atas kematian orang yang mereka sayang? Bukankah dia juga korban? Mengapa tak ada yang bersimpati untuknya?

Dulu, Ia sangat menyesali keberadaanya di tempat ini. Dari banyaknya villa yang dimiliki oleh Ruliazer, mengapa dia memilih tempat ini untuk menenangkan diri. Jika itu adalah tempat yang berbeda, dirinya pasti tak akan mengalami begitu banyak kemalangan.

Namun sekarang dirinya sadar. Jika mereka memiliki niat, tak perduli dimana, apa dan bagaimanapun keadaanya, akan selalu muncul ide untuk mencelakai, mendeskreditkan dan menghancurkan dirinya.

Tapi kali ini akan berbeda. Dia akan menjadi pahlawan yang menyelamatkan banyak nyawa. Bukan pembawa malapetaka yang menyebabkan kematian.

"Seperti yang kau katakan, Kalista. Meski bencana ini belum pasti, namun tidak ada yang salah dengan melakukan persiapan guna berjaga-jaga."

"Dan persiapan yang harus kau lakukan sekarang adalah pergi ke tempat aman." rahang tegang mengikuti perintah yang diberikan. Menyembunyikan khawatir yang dirasa.

"Tapi Paman.."

"Tidak Kalista! Paman telah memenuhi permintaanmu. Kali ini giliranmu yang mengikuti permintaan paman." kali ini tak ada kesempatan untuk sebuah bantahan.

Kalista dapat melihat keseriusan adik dari pihak ibunya itu. Meski pada hari-hari biasa pamanya selalu menunjukan ekspresi sekaku patung salju, namun kali ini Ia merasakan ketegasan dalam sikapnya.

"Aku mengerti, Paman." ucap Kalista patuh. Dia tahu keputusan pamanya tak dapat dirubah.

"Tapi Paman.."

"Aku punya permintaan." lanjut gadis cantik itu mencoba bernegoisasi.

"Apa yang kau inginkan, Kalista?" kali ini nada keras berubah menjadi datar. Bukti kelembutan tersembunyi yang telah kembali.

"Yang pertama, aku tidak akan kembali ke mansion ibu kota tanpa Paman. Dengan kata lain, aku akan ikut evakuasi asal tempat itu tak terlalu jauh dengan daerah ini. Kita akan tinggal dan kembali bersama-sama. Aku menolak jika harus meninggalkan Paman seorang diri."

"Kedua, aku menduga akan ada keributan perihal tindakan yang Paman ambil. Mereka yang membenci akan menyebarkan desas-desus. Sedangkan orang-orang naif akan mudah terombang-ambing."

"Untuk itu, Paman bisa mengatakan jika hal tersebut adalah permintaan yang putri mantan Duke dan Duchess Ruliazer terdahulu ajukan. Jika Paman bisa mengabulkan kedua hal tersebut, aku akan langsung mengikuti Paman ke tempat evakuasi." ucap Kalista tenang.

"Paman bisa mengabulkan permintaanmu yang pertama. Tapi untuk yang kedua, bukankah itu terlalu berlebihan, Kalista?" Devondion bertanya ragu.

"Bencana yang kau sebutkan dalam mimpimu belum terjadi. Jika kita terburu-buru mengungkap itu semua adalah keinginanmu, maka pandangan publik terhadapmu tidak akan terlalu baik." lanjut lelaki itu menjelaskan.

"Aku tahu, Paman. Akan lebih baik bagi kita untuk menunggu kebenaran longsor salju. Jika itu benar, tak akan terlambat untuk mengklaim konstribusi. Namun jika hal tersebut tak terjadi, kerugian yang kita derita tidak akan terlalu banyak." balas Kalista.

"Lebih tepatnya, Paman pasti akan menanggung semuanya seorang diri." batin gadis itu dalam diam.

Jika setelah persiapan besar yang dilakukan tak terjadi apapun, maka namanya pasti akan dihapus dari daftar tersangka pembuat keributan. Itu adalah sesuatu yang selalu dilakukan oleh adik dari pihak ibunya tersebut.

Lelaki itu selalu menjaga nama baiknya jika terjadi hal-hal buruk. Dia lebih suka menjadi orang yang dituding dibanding harus menyerahkan nama keponakanya sebagai penanggung jawab.

Dulu, dia begitu buta sehingga tak melihat kasih sayang dibalik penampilan kasar yang menakutkan itu.

Namun, kali ini akan berbeda. Tidak ada lagi seseorang yang perlu berkoban. Karena dirinya, akan melindungi penduduk desa yang naif dan menjadi pahlawan bagi mereka.

"Tapi Paman, terkadang kita harus berani mengambil resiko tinggi sebelum seseorang mulai menambah peran sendiri." lanjut gadis itu ketika dirinya berdiri perlahan.

"Jika Paman sudah memutuskan, silahkan kirim orang untuk menjemputku. Aku akan ada di kamarku jika Paman mencari."

"Kalau begitu aku permisi Paman." ucap Kalista sebelum meninggalkan ruang kerja duke.

***

(Ting..)

Suara cangkir terdengar berdenting pelan ketika diletakan di atas nampan. Putih yang murni dilapisi pola anggrek yang cantik. Perpaduan dua keindahan dengan unsur berbeda menjadikan tampilan yang arstistik.

Hitam yang lembut menjadi mahkota. Putih porselin menjadi warna dominasi. Merah delima seolah menjadi pemerah bibir. Dan lavender, iris cantik yang membawa sejuta misteri. Kalista dengan tenang menikmati teh sore saat bersantai.

(Tok.. tok.. tok..)

"Masuk.." seolah telah menunggu, Kalista segera memberi izin masuk kepada si pengetuk pintu.

Nafas yang tenang berhembus tanpa sedikitpun ketidaksabaran. Setiap detik yang berlalu membuat keheningan menjadi semakin jelas.

(Ceklek.)

Pintu dibuka dengan lembut. Seragam rapi dengan gulungan rambut yang monoton tampak begitu membosankan.

(Tap.)

(Tap.)

(Tap.)

"Selamat sore Nona Kalista."

"Apa Nona memanggil saya?" seorang pelayan membungkuk hormat ketika memberi salam.

Gadis yang dipanggil nona itu terlihat mengamati pelayan yang tengah berdiri di depanya. Seolah puas dengan penemuanya, gadis itu menganggukan kepala sembari tersenyum tipis.

"Granet.."

"Aku ingin kau melakukan sesuatu untuku."

Kembalinya Duchess MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang