2

6.4K 231 23
                                    

2

P.O.V Fin

"Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang namanya Fin. Dan namaku bukan Rebecca. Sekarang pergi dari sini dan tinggalkan aku sendiri!"

Aku berdiri diam di belakang jendela kamar sambil memandang ke luar. Ke hamparan langit membiru sehabis malam hujan, juga gulungan awan berbentuk serabut putih halus yang mengapung tanpa tujuan.

Basah masih menyisakan bintik embun di kaca jendela. Menampilkan pemandangan mikroskopis berwarna hijau bening dari rumpun tanaman bunga di kebun rumahku.

Aku menarik nafas dan menghelanya tanpa tahu apakah perasaan dalam dadaku bisa disebut lega, atau malah cemas.

Aku senang, Rebecca hidup kembali. Sudah terlalu lama ia menderita sakit, dan cuaca belakangan ini membuat keadaannya semakin buruk. Petir menyambar semua hal, seolah diutus semesta untuk mencabut nyawa orang-orang kesayangannya.

'Jantungnya lemah. Harus berhati-hati dengan jantungnya.'

Begitu yang dikatakan dokter saat hasil pemeriksaan laboratoriumnya tiba, namun, seberapa lembut pun kami berusaha untuk memperlakukannya, aku tak bisa menahan suara petir yang datang tiba-tiba.

Mungkin aku jahat jika mengatakan kalau aku sempat merasa lega atas kematiannya. Bukan karena aku tidak lagi mencintainya. Tapi, karena ia sudah terlalu lama menderita. Ia terkurung di kamar setiap hari, ia tak diperkenankan berjalan-jalan dan menikmati udara terbuka. Dokter meresepkan banyak sekali obat, hanya untuk membuat jantungnya tetap berdenyut, namun itu semua pelan-pelan merusak organ tubuhnya yang lain. Jadi, ketika ia berhenti bernafas dan membiru di dalam pelukanku, aku tak menangis lagi. Aku tidak ingin air mata menghambat kepergiannya.

Aku tak menyangka air mata itu juga yang menyambutnya ketika kembali. Aku sadar, kalau aku tidak akan pernah iklas atas kepergiannya.

Lalu... Bagaimana sekarang?

"Selamat pagi, Nona Fin." Bibi Davis, seorang pelayan yang sudah mengajukan pensiun 2 kali namun tak pernah kuijinkan, mengucapkan salam sambil mengetuk pintu kamarku.

"Masuk, Bi..." kataku. Lalu, ketika ia muncul dengan satu setel pakaian bersih untuk kupakai bekerja hari ini, aku melanjutkan kata-kataku. "Seharusnya Bibi tak perlu mengetuk pintu. Bibi boleh masuk kapan pun ke kamarku."

Bibi Davis hanya tersenyum dan menundukkan kepalanya dengan sikap hormat. Ia mengurusku sejak kecil, ia sangat mengenalku, namun tak pernah sama sekali ia menunjukkan sikap kalau ia akrab denganku. Sampai hari ini.

"Sarapan sudah menunggu di bawah. Apa Nona bisa tidur semalam?" tanya Bibi Davis. "Sudah lama Nona tidak tidur di kamar ini."

Aku menarik ujung bibirku agar terlihat biasa saja. "Bagaimana aku bisa tidur? Rebecca-ku hidup kembali."

"Nona sebaiknya merasa lega."

"Iya. Seharusnya aku merasa lega. Tapi, sulit rasanya kalau ia bersikap seperti ini." Aku kembali memandang ke luar. "Menurutmu, apa itu hal yang mungkin? Seseorang yang sudah mati hidup kembali. Lalu melupakan semua hal yang ia kenal sebelum ia mati?"

Bibi Davis terdiam sebentar. "Saya tidak pernah dengar, Nona. Yang saya tonton setiap hari hanya sinetron. Barangkali dia mengalami amnesia."

Aku mengerucutkan bibirku, "Itu istilah yang bagus. Panggil dokter pagi ini untuk memeriksanya. Tapi, jangan dokter yang lama. Aku tidak ingin membuat geger dunia kedokteran. Aku hanya ingin meyakinkan satu hal..." Aku tidak berani melanjutkan kalimatku. Tapi Bibi Davis bukanlah orang bodoh.

"Soal penyakitnya?"

"Ya... Aku berpikir kalau aku sudah iklas ketika ia pergi untuk yang pertama kali. Sekarang ia kembali, aku harus segera memutuskan apa aku harus tetap iklas atau harus mempertahankannya."

You Me Her (FREENBECKY) GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang