| Apresiasi penulis dengan vote dan berkomentar, terimakasih.
— × —
Istirahat di mulai sejak beberapa menit yang lalu, dan dalam ruang kelas yang kini mulai sepi hanya menyisakan Park Jungwon dan beberapa anak di ujung ruangan.
"Kau lihat dia? Dia anak panglima park yang jahat itu. Dia juga tak punya ibu."
Jungwon mendengar bisik-bisik kecil yang teman sekelasnya bicarakan. Sejak ia masuk hingga saat ini tak ada yang berani mendekati dirinya. Bagi si kecil itu bukan masalah besar, Jungwon terbiasa sendirian meskipun tak dapat di pungkiri ia sering merasa kesepian.
"Ibunya meninggal?"
"Tidak, ia memang tak punya ibu. Dia aneh karena punya dua ayah."
Si kecil berkaca-kaca hendak menangis tapi ia tahan. Berusaha mengabaikan bisik menyakitkan yang ia dengar Jungwon fokus dengan alat mewarnai di depannya.
"Ibuku bilang kita harus jauh-jauh dari anak yang punya dua ayah."
Tak lama ketiga anak itu pergi dengan sendirinya meninggalkan Jungwon yang masih setia berada di kelas.
Tangannya yang semula ia gunakan untuk mewarnai telah berhenti.
Jungwon tidak mengerti, apa yang salah dengan keluarganya. Apa yang salah dengan punya dua ayah tanpa ibu?
Lagipula ayahnya tidak jahat, mungkin. Dia tidak terlalu mengenal ayahnya dengan baik, tapi dia tahu ayahnya tidak jahat. Ayahnya jarang berekspresi, atau mungkin karena dia jarang bertemu hingga yang ia tahu ayahnya sering berwajah muram dan datar.
Sementara papanya adalah pria yang cantik dan lembut. Sejak ia bisa mengingat Jungwon juga jarang bisa bertemu dengannya. Papanya adalah pria yang sama sibuknya seperti sang ayah. Tapi tak membuat sang papa melupakannya begitu saja.
Biasanya sebulan sekali sang papa mengajaknya pergi berlibur bersama. Meskipun tak lengkap karena sang ayah masih berada di medan perang tak membuat Jungwon berkecil hati. Ia senang dengan apapun yang kedua orang tuanya berikan.
Waktu seakan berjalan lebih lambat di sekitar Jungwon. Menunggu hingga bel pulang sekolah berdentang menghabiskan tenaga si kecil yang terus mendengar hal-hal buruk mengenai keluarganya.
"Tuan muda!" Nio menghampiri di depan kelasnya tepat ketika bel pulang berbunyi.
Pria itu menggandeng tangan si kecil dan menuntunnya ke arah mobil yang akan membawa mereka kembali ke kediaman Park.
Jungwon duduk di bangku belakang bersama Nio. Di sepanjang perjalanan anak itu hanya diam sembari menatap kosong jendela. Hal itu membuat Nio dan Nimo bertukar pandang.
"Bagaimana sekolah anda, tuan muda?" Tanya Nio memulai obrolan.
"Biasa saja. Aku lebih suka di rumah."
Nio mengangguk paham, tuannya sedang dalam mood yang buruk.
Perjalanan menuju kediaman Park memakan waktu sekitar dua puluh menit lamanya. Ketika sampai Jungwon langsung berlari menuju kamar dimana papanya masih terlelap dengan tenang.
Si kecil juga tak repot mengganti seragam sekolahnya. Ia hanya ingin menemui sang papa untuk berkeluh kesah.
Jungwon bukan tipe anak yang bisa mengekspresikan emosinya. Terbiasa sendiri membuatnya terkadang lupa cara bersosialisasi. Dia juga bukan tipe anak yang sering mengeluh pada orang dewasa lainnya. Jungwon cenderung menyimpan semuanya sendirian.
Namun sejak sang papa nya sakit dan tak kunjung bangun, Jungwon suka berada di dekat sang papa. Bercerita dan mengeluh pada sang papa yang terlelap dalam tidurnya. Rasanya sang papa benar-benar mendengar semua yang ia ucapkan dalam tidurnya.
Hingga terselip dalam benak Jungwon untuk memiliki hubungan kekeluargaan yang sama seperti milik anak-anak lainnya.
Bermain bersama, berbincang bersama, bergurau bersama. Jungwon menginginkannya.
Mendekati kamar sang papa anak itu berjalan kecil, berusaha tidak menciptakan suara gaduh dari langkah kakinya yang cepat. Tak lupa ia menutup pintu dan mendekati ranjang dimana papanya tidur.
Tangan kecilnya menyisir surai blonde milik sang papa. Menata helai rambut tersebut agar tidak menutupi wajah teduh milik sang pangeran tidur.
"Selamat siang papa. Ini Jungwon."
Si kecil mengelus telapak tangan milik sang papa lalu menggenggamnya dengan kedua tangan kecilnya.
"Hari ini hari pertama Jungwon pergi sekolah. Tapi Jungwon merasa sedih."
Bisik-bisik temannya kembali terdengar.
"Mereka bilang ayah jahat. Mereka bilang Jungwon anak aneh karena punya dua ayah dan tidak punya ibu. Kenapa Jungwon harus punya ibu kalau punya papa dan ayah yang hebat?"
Si kecil terisak sambil terus mengadu.
"Jungwon ingin di peluk. Jungwon ingin bermain bersama papa dan ayah. Jungwon ingin kita selalu bersama."
Umurnya sudah menginjak 6 tahun beberapa bulan lalu, ia juga sudah terlalu besar untuk menangis, tapi Jungwon tidak perduli.
"Papa," anak itu memanggil kecil. "Apakah saat papa bangun nanti, kita bisa seperti keluarga lainnya?"
Tak ada jawaban. Jungwon semakin terisak, ia bahkan tak tahu apakah saat papanya bangun nanti ia masih bisa terus mengadu seperti ini.
Tubuhnya yang kecil ia baringkan di sebelah sang papa. Memeluk tubuh hangat itu menjadi rutinitas baru sejak sang papa tertidur beberapa minggu lalu.
Jungwon tak pernah bosan menatap wajah sang papa. Menunggu kantuknya datang, Jungwon terus mengamati sesekali mendusel lebih dekat pada sang papa. Ia saja heran bagaimana tubuh sang papa tetap wangi meskipun tertidur tanpa mandi. Tak tahu saja bahwa salah satu pelayan rutin membantu sang papa membersihkan diri di waktu Jungwon tak ada di rumah.
"Jungwon sayang papa banyak-banyak. Cepatlah bangun dan peluk Jungwon lagi seperti dulu."
|You and Dandelions
©Zorosei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
You and Dandelions | sungjake
Fiksi Penggemar[Fantasy - Rebirth] It's you who comes looking at me With a bunch of dandelions in your hand "Tak perduli di masa manapun aku hidup, kamu adalah takdirku. Kamu adalah cinta dalam hidupku, Sunghoon." | You and Dandelions ©Zorosei 2023 24.11.23