Menghela nafas pelan sembari menggeteng tiang nfusannya sendiri. Nathan mengelilingi isi rumah sakit. Dia memilih merilekskan diri dari pada berdiam di ruangan yang hampir terjadi perang. Bukan sekali dua kali papa dan mama Niel bertengkar. Mereka selalu bertarung kapanpun dimanapun.
Dimulai dengan percakapan santai, merujuk pada argumen tak penting dan berakhir mengeluarkan skill membunuh. Nathan sangat mengapresiasi Nathaniel karena bocah itu tetap ceria meski papa dan mamanya gila.
Ia juga bangga pada diri sendiri karena bisa dengan cepat beradaptasi. Walaupun pada awalnya, Nathan ingin sekali melarikan diri dari keluarga yang 50% mengancam nyawa. Setidaknya, mereka tidak melukai keluarga kan?
Kan?
Banyak pasien yang ia temui dengan bermacam-macam penyakit. Nathan selalu menyapa mereka dengan ramah. Dia selalu memerhatikan mereka hingga matanya tak sengaja melihat kedua pasangan suami istri terlihat panik dan khawatir. Nathan tersenyum lembut, suasana hangat meski ditempat seperti ini.
Di depan kedua pasangan itu, terdapat seorang pemuda yang seperti seumuran dirinya. "Sayang, hati-hati saat bekerja. Lihat, tanganmu tergores benda tajam, " ujar lembut seorang ibu pada anaknya.
Sementara si anak hanya cengengesan. "Hehe.. Ini biasa ibu. Aku adalah pria kuat. Ini bukan apa-apa."
Si ayah hanya menggelengkan kepala. "Nak, ambilah cuti. Gaji ayah cukup untuk beberapa waktu kedepan. Jangan memaksakan dirimu." Dia menepuk pundak anaknya.
Si anak pun menggenggam tangan si ayah yang berada di pundak. "Jangan khawatir ayah. Aku adalah putra ayah dan ibu. Aku tidak selemah itu. Percaya padaku." Kedua pasangan itu terlihat mengangguk pasrah mengiyakan.
Nathan segera melangkahkan kakinya. Dia tak ingin berlama-lama berada di tempat yang membuat dia iri. Seandainya dia di perlakukan seperti itu oleh orang tuanya. Dia pasti akan sangat bahagia. Nathan melangkah tak tentu arah.
Hingga dia berdiri di sebuah ruangan dengan kaca jendela. Entah karena apa, Nathan berbalik dan melihat kedalam ruangan. "Itu tubuhku." Nathan bergumam. Dia baru ingat jika tubuh aslinya di nyatakan koma seperti perkataan Niel.
Banyaknya alat penunjang kehidupan di tubuhnya. Nathan terkekeh, akankah dia bisa kembali nanti. Nathan tidak tau, namun ada sedikit keinginan enggan untuk kembali.
"Dek, butuh sesuatu?" Sapa seorang suster. Nathan terkejut dan tersenyum culas.
"T-tidak sus."
Sisuster mengangguk, kemudian dia menatap kearah dimana Nathan melihat tubuhnya tadi. Lalu sang suster berkata. "Namanya Nathan. Dia dinyatakan koma dua hari lalu. Tapi sampai saat ini, tidak ada keluarga yang menjenguknya. Aku merasa kasihan dengannya."
Nathan tersentak. "T-tidak ada satupun?" ujarnya lirih. Apakah keluarganya tak ada yang datang untuk memastikan keadaannya. Bagaimana mungkin mereka seacuh itu untuk kesehatan dirinya. "Apa pihak rumah sakit tidak menghubungi keluarganya?"
Suster itu menghela nafas pelan. "Sudah.. Tapi jawaban mereka akan datang nanti. Bungsu mereka juga sakit dan di rawat dirumah sakit lain. Aku sedikit kesal sih, karena setauku.. Katanya adiknya di rawat hanya karena lemparan sebuah bola, dia baik-baik saja. Tetapi mereka memaksa untuk merawatnya hingga sembuh."
"Terdengar berlebihan. Padahal di sini, sulung mereka sedang berjuang." Suster tersebut melangkah ke depan. Dia menyentuh kaca itu dan berucap. "Aku harap, dia bisa bertahan di dunia kejam ini. Tetapi jika dia menyerah, berarti hidupnya tak pernah bahagia."
Tiba-tiba air mata Nathan keluar. Dia segera menghapusnya. Suster itu kelabakan. "Ahh adek! Kenapa nangis!" serunya.
Jelas saja Nathan menangis. Sungguh, apakah sampai akhir tak ada kepedulian keluarganya padanya. Nathan terima mereka lebih mengutamakan Rafael. Namun setidaknya, mereka ingat jika di belakang, ada dia yang sedang berjuang dengan hidup dan matinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being the youngest - End - TERBIT
Teen Fiction[ Beberapa part di hapus ] "Kenapa harus menjadi sulung." "kenapa sulung Harus terus mengalah." Pictures by : pinterest