Bahu Nathan merosot lesu. Dia berjalan keluar gerbang sekolah. Delvin tidak bisa mengantarnya pulang karena ada kegiatan klub setelah pelajaran terakhir usai bersama ketiga temannya.
Kakinya ia bawa melangkah menyusuri trotoar. Mungkin dunia tau jika dia butuh refreshing. Nathan memanfaatkan waktu tanpa adanya salah satu keluarga Barrack. Berjalan riang sembari bersenandung.
"Damai sekali, " gumamnya tersenyum lebar seolah dia adalah manusia paling bahagia. Menghirup udara segar yang terasa menyejukkan. Meski ada sedikit bau eek kucing. Tapi tak apa, ga ngaruh.
Kedamaiannya harus ditunda saat suara deru mobil mendekati. Nathan sontak menoleh dan berhenti. Alisnya terangkat ketika mobil itu berhenti di sebelahnya.
"Jalan kaki? Kak Delvin kemana? " tanya Rafael. Tidak tau mengapa ia ingin berhenti menghampiri adik dari idolanya itu. Bertanya hal yang sudah dia tau.
"Lagi ada kegiatan klub." Rafael beroh saja mendengar ucapan Nathan. Kemudian menutup kaca dan menyuruh supirnya untuk melanjutkan perjalanan tertunda.
Nathan mengangkat ujung bibirnya. "Dih, sopan gitu?" julid seorang Nathan. Sikap dewasanya perlahan hilang. "Tawarin tumpangan kek, dasar! Kuburannya sempit mampusin!" Ah! Nathan langsung menutup mulutnya sendiri. Lagi-lagi mulutnya berkata tanpa dia sadari.
"Niel sih. Jadi bocah julid amat." Mengangkat bahu acuh, dia pun melanjutkan langkahnya.
Dari belakang, sebuah mobil hitam menghampiri dirinya. Nathan bersikap acuh. Dia tak ingin zonk kedua kalinya.
Yang Nathan tak ketahui bahwa mobil itu juga berhenti di belakangnya. Muncul dua orang berpakaian serba hitam menggunakan penutup mata serta masker. Mereka segera bergegas. Orang satunya membius Nathan, satunya lagi mengangkat tubuh lemasnya.
.
Pyas!
Nathan membuka kedua mata ketika merasakan sensasi dingin di kepalanya. Mengibas-ngibaskan kepalanya menyingkirkan air yang mengalir menganggu penglihatannya.
Kedua tangannya tak bisa di gerakkan karena terikat kebelakang. Mulutnya tersimpan lakban. Dia terikat di sebuah kursi. Matanya menatap seseorang yang telah menyiramnya sekaligus penculiknya.
"Sudah bangun?" Tanya orang itu.
Nathan tak mengeluarkan suara apapun. Percuma kan? Tak akan ada suara keluar. Ia hanya bisa pasrah tanpa memberontak. Kepalanya sakit, mungkin efek obat bius.
Orang itu mendekati Nathan, mencengkram lalu menariknya kuat. "Kau tak akan bisa keluar dari sini Niel!" ujarnya sembari menyeringai. "Aku akan membuatmu tersiksa tanpa ada yang menolongmu!"
Sebenarnya Nathan takut, tetapi nalurinya tidak. Bagaimana itu bisa terjadi? Entahlah, Mungkin karena raga ini milik Nathaniel. Di pikir lagi, Nathan tidak pernah tau tentang Niel kecuali anak itu memiliki singa.
"Lakukan apapun terhadap dia, " perintahnya lalu mundur ke belakang. Membiarkan dua orang yang membawa Nathan ketempat ini maju.
Mereka melepaskan ikatan Nathan, memindahkannya di sebuah tiang di tengah-tengah ruangan itu. Banyak alat-alat penyiksaan di dalam sebuah ruangan gelap dan pengap ditempat Nathan saat ini.
Nathan hanya bisa pasrah. Dia sudah mati sekali, jika harus mati lagi, mungkin tak masalah baginya. Walau ada sedikit harapan jika akan ada yang menolongnya secepat mungkin. Karena di balik kepasrahannya, Nathan takut.
Bugh!
Uhuk!
Nathan terbatuk.. Sakit langsung dia rasakan.
Bugh!
Lagi, Nathan menerima pukulan di lengan. Ia memandang orang di belakang. Kilat tajam penuh dendam ia sorotkan ke wanita itu. Dia, Sania.. Wanita yang telah menyewa penculik ini untuk menculik dan menyiksanya.
Tiba-tiba rasa pasrah di hatinya berubah menjadi perasaan dendan berlebih.
Sembari menerima rasa sakit, Nathan mencoba untuk melepaskan ikatannya. Matanya melirik sebuah palu dan tang. Rencana tersusun apik di kepalanya. Tinggal menunggu timing yang pas untuknya bergerak.
Bugh!
Kepalanya tertoleh, dia menerima dengan senang hati. Tangannya yang sudah terlepas langsung menyambar palu dan menghantam kuat kepala dua orang yang menyiksanya. Kedua orang itu roboh seketika. Nathan mengambil tang. Menusuk pas di perut.
"Argh!!"
Dia terus melakukannya hingga bagian dalam dari perut mereka berceceran. Senyum seringai terpatri di wajah manis seorang Nathaniel. Senyum itu hilang ketika Nathan menyadari apa yang telah dia lakukan. Memegang wajahnya, meraba keseluruhan. Memandang ke bawah lalu ke tangannya. "Wahh.. Ternyata aku juga gila."
"D-dasar gila!"
Oh, Nathan lupa jika ada Sania disini. Dia pun mengambil palu berlumuran darah. Beranjak mendekati Sania. "Hai bibi.." Tangannya melambai. Senyumnya begitu lebar. Suer deh, bukan Nathan. Nathan cuma mengikuti tubuh yang seakan bergerak sendiri.
Dia seolah tak memiliki emosi meskipun sudah membunuh dua orang. Perubahan yang sangat drastis. Nathan, pria tegas dewasa dan setres. Menjadi pria gila dan sadis. Dari sedih menjadi dark.
Jangan salahkan Nathan, salahkan saja gen Barrack.
"Jangan mendekat!" Sania histeris. Ia mencoba berlari dari hadapan Nathan. Langkahnya begitu berat. Bukan seperti ini rencananya. Dia hanya ingin membuat Nie- Nathan pelajaran. Ia ingin membuat Nathan mengetahui tempatnya dan membaginya dengan Catra.
"Mau kemana bibi? Kita harus senang-senang loh." dengan senyum sumringah, Nathan melempar palu yang ia pegang ke kaki Sania.
"Argh!" Sania otomatis terhenti. Tubuhnya terjungkal ke depan.
Nathan mengangkat palu tinggi-tinggi lalu memukul kaki Sania. Pekikan Sania menjadi alunan indah. Retakan tulang juga terdengar. Merasa kurang, Nathan kembali memukul sebelahnya. Respon Sania membuat ia puas.
Mata Sania berlinang air mata. Wajah kusut itu menjadi kesenangan bagi Nathan. "Bibi, kamu tidak boleh pingsan. Kalau itu terjadi, aku akan memukulmu hingga bibi bangun."
Sania menggeleng lemah. Palu itu kembali terangkat tinggi. Sania menangis, ia mengaku salah. "Darma hikss.. Tolong aku."
*
Nathan mendesah kecewa karena Sania sudah diam tak berkutik. Membuang palu ke sembarang arah kemudian duduk bersila. "Hoyy bibi- bangun." Berdecak kemudian berdiri.
Dia berjalan menghampiri dua mayat pria yang sebelumnya ia bunuh. Menidurkan tubuhnya di dekat mereka. Sengaja melumuri seluruh tubuh dengan darah. Kondisinya yang juga kacau akan sangat membantunya nanti.
Derap langkah terdengar dari luar. Nathan perlahan menutup matanya, tetapi tak sampai semuanya. Dia bisa melihat jika Dominic datang bersama Darma. Lalu bawahan mereka.Tangannya bergetar menggapai Dominic yang baru saja datang. "P-papa." Suaranya begitu lirih.
"Nathaniel!" Dominic langsung menghampiri Nathan. Mengangkat tubuh putranya, tidak peduli jika sang putra berlumuran darah.
"Hikss papa.. B-bibi San-" Belum selesai, Nathan menutup rapat kedua matanya. Selain karena lelah, dia mengantuk. Sentuhan terakhirnya itu seharusnya cukup untuk drama hari ini. Dia tak akan di salahkan atau di curagai sebagai orang yang menyiksa Sania.
Dominic berwajah gelap, mengangkat Nathan lalu beranjak keluar. Dia berhenti di sisi Darma. Adik nya itu memeriksa kondisi sang istri. "Darma, setelah ini, istrimu tak akan aman. Bahkan jika itu kau, aku siap bertarung dengan saudaraku sendiri jika kau menentang."
Nathan sayup-sayup mendengar ucapan Dominic. Ia menyeringai tanpa disadari Dominic.
'Anggap aja aku kesurupan setan Niel hehe.'
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being the youngest - End - TERBIT
Teen Fiction[ Beberapa part di hapus ] "Kenapa harus menjadi sulung." "kenapa sulung Harus terus mengalah." Pictures by : pinterest