Setelah drama panjang di rumah sakit. Akhirnya Nathan di perbolehkan pulang setelah 10 hari menetap di bangunan bau obat itu. Saat ini Nathan sedang berada di sebuah mobil mewah yang entah Nathan tak tau namanya. Membelah lautan kendaraan di jalanan luas. Diikuti 4 mobil di belakang dan dua mobil di depan.
Nathan merasa seperti anak orang penting. Di kawal oleh banyak mobil dan pria berjas hitam. Nathan jadi penasaran, siapakah keluarga Barrack ini. Sampai-sampai keluar dari Rumah sakit, mereka di sambut oleh banyaknya pria ber setelan hitam itu.
Dipikir lagi, Niel tak menjelaskan tentang keluarganya. Niel hanya menjelaskan siapa saja keluarga Barrack yang ia tahu. "Abang Kai, memangnya kita ini anak presiden ya? Kok banyak yang ngikutin, " tanya Nathan. Sikap polosnya harus tetap ada.
Kairo yang di tanya tersenyum tipis. Dia menoleh ke samping, "Mereka sedang menjaga kita. Dan.. Tidak hanya presiden yang harus di kawal seperti ini."
"Hmm.. Muka papa tidak mendukung untuk menjadi presiden," gumamnya yang bisa didengar oleh Kairo. Entah kenapa Nathan merasa lega karena Dominic bukan petinggi negara. Sedangkan Kairo menggelengkan kepala mendengarnya. Membayangkan pria tua itu menjadi presiden. Akan jadi apa negara ini.
"Abang, kita bersaudara ada berapa?" Nathan hanya basa basi. Ia tak ingin berada di situasi canggung. Kairo juga tipe tak akan bicara sebelum di ajak bicara. Lagi pula, abang Niel itu akan menjawab apapun yang akan di tanyakan padanya, jadi tak masalah menurutnya.
"4 termasuk kamu. Sean yang pertama, abang kedua, lalu yang ketiga namanya Delvin." Nathan pun ber o saja. Ia sudah mengetahuinya, sudah di bilang itu hanya untuk basa basi. Dari pada tidak ada topik kan.
"Setelah sampai nanti.. Ada kakek dan nenek. Abang tau jika kamu melupakan ingatan mu. Tapi, jangan sampai menolak mereka, hm? " ujar Kairo. Dia mengelus rambut sang adik yang bergerak ke atas kebawah seiras dengan Nathan mengangguk.
Sudah tidak heran lagi. Bahkan Nathan sudah menebak jika kedua orang tua itu akan sama gilanya. Sudahlah, keluarga Barrack tidak ada yang waras. Oh ada satu, Paman Nathaniel, kalau tidak salah, namanya Darma.
Tak berselang lama. Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki arena Mansion. Nathan menganga tak percaya melihat bangunan megah di depannya. Dia menatap ke samping dimana Kairo berada. "Bang, tampar aku bang!" Karena rasa terkejutnya, ia jadi lupa situasi.
Kairo menautkan kedua alisnya. "Apa yang kamu katakan Nathaniel!" tanyanya berujar dingin.
Nathan memutar bola mata malas. Kenapa dia lupa jika permintaannya tak akan di turuti, apa lagi permintaan seperti itu. Kemudian dengan segenap hati ia menubrukkan dahinya dengan sisi kanan yang terdapat interior mobil.
Dug!
"Awshh!" Ia memegang dahinya. Lalu menatap keluar dimana mansion itu tetap ada. Berarti itu bukanlah mimpi. Sungguh, dari mana keluarga Barrack mendapatkan uang. Di depannya itu bukan lagi rumah, bukan pula Mansion, tapi istana!
Kairo langsung menarik tubuh Nathan hingga anak itu menubruk dada bidangnya. Wajah Kairo memerah, ia langsung melihat dahi sang adik. Jika saja ada sebuah benjolan atau memar. Ia akan menghukum anak nakal di pelukannya ini.
Menangkup rahang Nathan. Kairo berujar dingin dan menusuk. "Kamu sangat ingin di hukum Niel?! Bagaimana mungkin ketika seluruh ingatanmu menghilang, kamu masih suka sekali berulah!" tanpa menunggu jawaban yang akan di berikan Nathan. Kairo menyeret Nathan keluar.
Dasarnya Nathan bebal. Bukannya panik karena Kairo marah. Mulutnya malah menganga lebar karena kagum. Tak pernah di seluruh hidupnya ia melihat rumah sebesar ini. Menurutnya Mansion Gratavic begitu besar dan mewah baginya.
Memang benar, masih ada langit di atas langit. "Woah!" tak hentinya ia berdecak kagum. Di halaman luar saja di tata begitu rapi. Sejauh mata memandang, tak akan pernah ia bosan. Siapapun yang mengatur tempat-tempat untuk dekorasinya, Nathan sangat kagum padanya.
"Kenapa Kairo. Mengapa kamu menyeret cucuku seperti itu, " ujar Wanita tua. Wanita yang cantiknya tak termakan usia. Tatapan tajam khas keluarga Barrack ada di tatapan wanita itu. Dia, Marry. . Istri Bennedict. Tuan serta nyonya besar keluarga Barrack.
Wanita itu melangkah ke depan, menghampiri keduanya. Ia merentangkan kedua tangannya dan memeluk Nathan. "Sayang.. Bagaimana kabarmu. Tubuhmu sudah sehat kan? Sudah baik?" Marry membolak balikkan tubuh Nathan.
Nathan langsung sadar dari keterkagumannya. Anak itu langsung menarik diri dari Marry, menyembunyikan tubuhnya di belakang Kairo. Nathan melupakan peringatan yang dikatakan oleh Kairo sebelum memasuki Mansion. Senyum di wajah Marry luntur. Matanya memicing tajam menatap Kairo.
Kairo menghela nafas. Dia membawa tubuh kecil di belakangnya untuk beralih kedepan. "Niel, bukankah abang mengatakan sesuatu di mobil?" ujarnya. "Sapalah opa dan oma kita." Mendorong Nathan kedepan. Kemudian ia masuk kedalam. Tak ingin menjadi samsak kemarahan Marry.
Melihat kepergian Kairo. Nathan mengumpat dalam hati. Bagaimana mungkin Kairo meninggalkan dirinya dengan kedua sosok bau tan- maksudnya tuan dan nyonya besar Barrack. Kakek dan nenek Niel kan? Menyeramkan sekali.
Bolehkah Nathan lari saja?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being the youngest - End - TERBIT
Teen Fiction[ Beberapa part di hapus ] "Kenapa harus menjadi sulung." "kenapa sulung Harus terus mengalah." Pictures by : pinterest