Part 13.

13.6K 1.5K 53
                                    










Grusak grusuk di dalam kamar mandi menandakan jika yang berada dalam tengah melakukan ritual membersihkan badan. Selang beberapa saat, Nathan keluar dengan wajah yang lebih segar. Setelah bangun dari tidur, keringat membanjiri tubuhnya saat ia bermimpi kehidupannya dulu.

Hari ini adalah weekend.. Seluruh penghuni mansion tidak kemana-mana termasuk Nathan. Karena keluarga ini mengharuskan berkumpul di ruang keluarga pada hari libur. Tidak ada yang boleh pergi bekerja kecuali ada hal mendesak.

Nathan mengusap rambutnya dengan handuk. Menggosok-gosok rambutnya berharap langsung kering. Kebiasaan dirinya, dari pada menggunakan hairdryer, ia lebih suka mengeringkan rambut dengan cara di gosok.

Melangkah menuju sebuah ruangan di sebelah kiri. "Alex, buka." Pintu otomatis terbuka ketika dia mengatakannya. Suara mekanik yang menjawab ucapan Nathan sopan dan menyuruhnya untuk masuk. Nathan masuk dan langsung di suguhkan oleh lautan baju milik Nathaniel.

Awalnya.. Nathan takjub. Melihat kekayaan keluarga Barrack yang sangat tidak normal baginya. "Setiap aku kesini, aku belum terbiasa melihat semua baju dari brand ternama." pandangan Nathan jatuh pada kaos hitam di padukan dengan celana pendek selutut.

Sebanyak apapun baju Niel, Nathan tetap mengambil yang paling sederhana menurutnya. Yah, meski sederhana pun.. Harga baju Nathaniel begitu fantastis.

Nathan mengambil sandal jepit berwarna hitam polos. Sandal itu masih berlabel. Nathan pun iseng mengecek harga yang tertera, namuan sayang sekali tidak ada. Membolak-balikan sendal itu dan menganga tak percaya ketika harga dan tipe sandal terdapat di bawah sandal tersebut tertulis di sebuah kertas.

"10 juta hanya untuk sandal jepit!!" teriaknya frustasi. Untung saja kamarnya kerap suara. Jiwa menabung Nathan meronta-ronta. Astaga, padahal dia beli sandal jepit hanya 75 ribu. Itu sudah bagus meski harganya murah.

Nathan mendesah frustasi. Ia menjatuhkan sandal itu setelah melepaskan labelnya. Dari pada memikirkan harga, lebih baik dia langsung memakainya saja. Ini peringatan untuk tak lagi melihat harga dari semua barang milik Niel.

Yah, jika di pikir. Orang tuanya juga memanjakan Rafael. Ketika anak itu meminta sesuatu, maka akan di kabulkan oleh orang tuanya. Jika itu sedikit mahal, maka membutuhkan 3-4 hari untuk memperolehnya. Berbanding dengan dirinya yang harus menabung dahulu.

Enaknya jadi bungsu~

Itulah yang akan di pikirkan orang-orang tentang menjadi bungsu, termasuk Nathan. Karena kenyataan pahitnya, tidak semua bungsu di perlakukan semanja ini. Tidak juga sulung yang di tuntut sempurna. Berbagai aspek dari posisi tak pernah di ketahui yang terlihat sempurna, berbanding dengan apa yang terlihat.

Lupakan, semua adalah presepsi manusia. Jika memikirkan hal yang tak berurusan dengan hidup sendiri, tak akan ada habisnya dan membuat sakit kepala.

Nathan beranjak keluar. Dia melangkah kebawah menuju ruang keluarga.  Dia harus melakukan ini, jika tidak maka akan ada yang menggila nantinya. Pada dasarnya Nathan malas, karena bibi Niel akan terus mengatakan hal yang tak enak di dengar walau itu Nathaniel.

Seperti sekarang... Ketika dia baru saja duduk. Sania ber celetuk padanya, ia mengatakan.. "Enak sekali jadi dirimu. Meski terlambat sekalipun, tak akan di marahi. Berbeda dengan kita, apalagi Catra." nada yang sama sekali tak di sukai Nathan.

Nathan menghela nafas. Tak pernah sekalipun dia menjawab ucapan Sania. Dia sudah pandai menahan emosi. Walaupun perkataan Sania selalu saja berhubungan dengan Nathaniel yang selalu di bandingkan dengan anaknya, Catra.

"Bu sudah."  Dari samping, Catra menepuk pundak ibunya. Dia tersenyum teduh berharap kemarahan sang ibu mereda.

Sania menoleh dia menghela nafas. "Ibu hanya mengatakan kebenarannya Catra. Tadi kamu di marahi karena tak sengaja menyenggol Vas. Sampek uang jajan kamu di potong sehari, " Sahutnya tak terima. Merasa jika perlakuan keluarga Barrack sangat tidak adil kepada putranya.

Nathan duduk di sebelah Kairo. Dia hanya mendengarkan, sedikit julid dalam hati. Apa urusan Catra menyenggol Vas dengan kedatangannya. Sania hanya suka sekali membuat masalah dengannya. Entah apa yang salah dengan otak wanita yang menjadi bibi Niel itu.

Berlyn berdiri, dengan langkah lebar. Dia menarik kerah Sania hingga wanita itu berdiri. "Katakan padaku dengan benar Sania. Katakan semua keluhanmu padaku. Katakan sampai selesai, jangan sampai ada yang tertinggal  atau aku bersumpah akan merobek mulut busukmu!" tekan nya penuh ancaman. Sudah cukup dia berusaha diam selama ini.

"K-kak apa maksud kakak? " tanya Sania terbata. Dia sedikit takut. Selama ini Berlyn diam dan tanpa mengatakan sepatah katapun terhadapnya. Bahkan anggota keluarga lain akan diam ketika dia mengatakan sesuatu seperti ini. Lalu kenapa sekarang kakak iparnya bersikap demikian.

"Lepaskan kak." Sania melirik suaminya. Darma terlihat santai meminum kopi tanpa niat menolongnya. Keluarga Barrack yang lain juga terlihat diam dan santai.

Catra yang melihat ibunya kesakitan pun berdiri dan memegang lengan Berlyn. "Bibi, sudah cukup. Kasihan ibu, " Pintanya. Ia melihat ibunya yang tertekan.

Berlyn melirik Catra, kemudian menatap Darma.

"Catra, duduk." Suara Darma menyuruh putranya duduk. Dia tak ingin sang putra juga menjadi pelampiasan kemarahan kakak iparnya. Untuk istrinya, biarlah dia merasakan resiko karena selalu mengganggu keponakannya.

Catra menggeleng. "Tapi ayah, ibu. Tolonglah dia."

Darma menatap Catra tajam. "Ayah bilang duduk ya duduk!" ujarnya sedikit tak ingin di bantah. Mau tak mau, Catra duduk. Belum sampai ia duduk, tangannya di tarik Darma dan di duduk kan di sebelah pria itu. Matanya melirik sang istri yang terlihat ketakutan.

"Kau perlu di beri pelajaran Sania."

Beralih mencengkram rambut Sania, Berlyn menyeret wanita itu entah kemana. Rupanya, ia harus memberi pelajaran pada orang yang selalu berucap buruk pada sang putra. Tak bisa dia biarkan lebih lama lagi.  Jika sebelumnya dia dilarang oleh bungsunya dia diam. Sekarang tidak lagi, telinganya cukup panas mendengar ocehan Sania yang sama sekali tak bermutu.

Nathan hanya diam, lelaki itu acuh tak acuh. Entahlah, ia merasa sudah biasa melihat kelakuan Berlyn dan kekejamannya. Di bilang kasihan pada Sania? Nathan sedikit memiliki dendam terhadapnya. Jangan salah kira, Nathan orang sabar yang pendendam.

"Papa, Niel ingin mengunjungi sebuah kafetaria. Niel menginginkan sesuatu disana, " pinta Nathan memecahkan keheningan yang melanda. Tangannya mengambil sebuah pancake di meja.

Dominic berderhem. "Kapan?"

"Nanti sore.. Niel akan pergi bersama bang Delvin." Nathan melirik Delvin.  Yah, anggap saja ini membuat nya jauh lebih dekat dengan abang ketiga Nathaniel itu.

"Kau tidak keberatan Delvin?" tanya Delvin sebelum menjawab ucapan Nathan.

"Tak masalah," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari game di ponselnya.

Catra yang mendengar itu ingin sekali ikut. Tetapi dia terlalu takut untuk bersuara. Tangannya mengepal tanpa sadar, ia menunduk. Dia juga ingin dekat dengan para sepupunya.

Di sampingnya Darma menaikkan sebelah alis. Seolah tau keinginan putra satu-satunya. Darma berkata. "Bolehkah Catra ikut Niel?" Catra mendongak menatap ayahnya yang tau keinginannya.

Nathan menatap Darma kemudian melirik Catra. "Boleh paman.  Aku akan berangkat sore nanti. Catra harus siap di jam itu." Nathan sedikit menekan. Karena selalu di manja, Nathan agak sedikit melunjak. Sikapnya terkadang bukan dirinya sama sekali.









Tbc.

Being the youngest - End - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang