(ketika keputusasaan datang dalam badai kegilaan yang tiada henti, diiringi emosi dan penderitaan, yang bisa dilakukan kebanyakan orang adalah berpegang pada sesuatu agar tidak terbang jauh)
Gerios menyaksikan pergerakan lambat uap dari kopinya dengan serius. Kental dalam hal konsistensi, hadirnya dekat dengan cairan hitam tersebut namun bentuknya sangat tipis hingga mampu terangkat pada udara ruangan dan berakhir menghilang di depan wajahnya. Gerios tidak mau membandingkan dirinya dengan kabut jernih tersebut. Gerios memang seperti itu beberapa saat yang lalu, penuh dengan harapan yang tulus namun sekarang seperti uap dari segelas kopi, dia juga menjadi semakin tipis setiap detiknya seperti layunya masa mudanya. Lelaki itu ingin menangis mengeluarkan semua gelombang air mata yang menguras tenaga, tapi sekeras apapun dia berusaha, air mata itu seakan tidak bisa keluar menuruti keinginannya. Dengan perenungan yang serius, matanya mendarat pada lantai marmer dibawahnya. Yang dipegangnya sekarang hanya keputusasaan.
No more. There were no more angels.
Gerios menjulurkan lidahnya, merasakan satu dari sekian banyaknya serpihan salju yang turun dari langit. Sentuhan dingin dari kepingan salju yang mendarat pada lidahnya, membuatnya tersenyum singkat. Salju terus turun selama seminggu di 'hokuland' dan gerios mau tidak mau harus turun dan terpesona oleh keindahan tiap bulir mutiara kiriman surga yang melenggang dengan angin yang berhembus melesat melewati taman bermain.
"io, kena!" sebuah suara berkicau dari belakangnya, tanpa kesiapan matang sebuah bola salju telah mendarat tepat di punggungnya.
"huh" menghela napas berat, gerios buru-buru mengejar tersangka yang telah melarikan diri dari ulahnya. Disebelah ayunan, berdiri perempuan dengan senyum manisnya dan tertawa lebar "oh, jadi ini tantangan kan?" tanya gerios menyeringai, dirinya telah mengambil sebuah genggaman penuh salju dan menggulungnya menjadi bola
"Kamu tau el, dua orang bisa memainkan game ini" tegur gerios dengan kilatan nakal dimatanya. Memposisikan dirinya seperti pemain baseball, gerios melirik kearah bola saljunya sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke eleanor. Dan begitu saja, bola salju itu telah lepas dari tangannya, beralih ke jaket merah muda gadis itu "Nice, perfect hit!" gerios bersukacita sebelum dirinya sendiri terkena balasan tepat dikepalanya. Tidak butuh waktu lama, perang bola saljupun tidak terhindarkan. Tetapi selang berapa lama, mereka mengibarkan bendera putih tanda mereka menyerah karena kelelahan.
Gerios membiarkan dirinya terjatuh di hamparan salju, menatap penuh bahagia pada langit. "El, liat" merentangkan tangan dan kakinya selebar mungkin. Tangan dan kakinya dia gerakan atas bawah hingga membuat seperti sayap yang dimiliki malaikat. Eleanor mendengar panggilan untuknya, berlari datang kearah gerios dan terkikik melihat malaikat bersayap tercetak disalju dengan bentuk badan gerios.
"Taaa-daaa" lelaki tersebut menunjukan hasil karyanya dengan bangga "Aku menemukan malaikat ini, sekarang kita bisa membuat keinginan kita sendiri"
"Itu bukan malaikat yang sebenarnya io, kamu baru saja membuatnya" eleanor tersenyum manis "dan lagi, hari ini sangat dingin. Aku ragu, malaikat akan datang dalam cuaca sedingin ini"
"Malaikat ada dimana-mana el, dan apapun yang terjadi, akan selalu ada malaikat meskipun dalam cuaca seburuk apapun el"
"Benarkah?"
"Iya, sekarang ayo kita wujudkan keinginan kita. Lebih baik mencoba, daripada menyesal karena siapa tahu, malaikat ini bisa jadi nyata" eleanor menatapnya sebentar sebelum mengangguk. Kedua sahabat itu menutup mata mereka dan mulai membuat keinginan dengan hati yang penuh harapan. Gerios dan eleanor saling berpegangan tangan, melawan angin kencang dan rasa dingin yang mematikan janji yang teguh bahwa semua akan baik-baik saja-selama malaikat masih ada.