Bab 9. Tunggu, Mereka Dimana?

2 0 0
                                    


Aku dan Damian sedang beristirahat dari investigasi dan membiarkan Om Alvin yang mengurusinya. Aku dan Damian sedang mengelilingi kota dan bermesraan, bukan bermesraan yang kalian pikirkan, aku tidak bisa menjelaskannya. Kita ke taman hiburan, aku bermain sepuasnya, aku sangat senang. Aku pergi ke taman dimana dia menyatakan perasaannya. Saat kita sedang memakan es krim, hujan turun. Dia menutupiku dengan leather jacket-nya. Saat, kita ingin balik ke Rumah. Aku melihat seekor anak anjing. Aku mengahampiri anak anjing itu dan menggendongnya. "Lihat Si Imut ini kasihan sekali! Bocah ini akan aku pelihara tidak akan aku biarkan dipinggir jalannya," ujarku sambil menatap Damian. "Jika dia manis, aku juga manis kan?,". Waw, aku tidak tahu kenapa aku berpacaran dengan orang yang narsis. Ya sudahlah, memang aku ditakdirkan berjodoh dengan orang ini.

Kita makan di sebuah Cafe yang penuh dengan dekorasi yang lucu dan vibes-nya sudah seperti Natal. "Tempat ini lucu sekali," sambil memakan makananku. Damian mencubit pipiku. "Tembem banget sih pipi lu," ejeknya sambil mencubit pipiku terus-terusan. Aku memukul tangannya. "Hei, jangan sembarang cubit! Pipiku ini sensitif tau ga sih," ujarku yang lanjut makan. Damian tiba-tiba mencium pipiku, aku tidak tahu ingin berkata apa dan dia menciumku di tempat yang sangat terbuka dan bisa dilihat orang lain. Telingaku memerah. "Apakah pipimu alergi dengan sentuhan bibirku?," tanya Damian yang menahan tawanya itu. I was flustered. "Kenapa kau diam saja? Malu ya?," tanya Damian yang tersenyum menunjukkan baris giginya yang putih, rapih, dan mengkilap itu. "Mau aku buat semakin malu?". Apa? Semakin Malu? Apa yang dia lakukan? Kenapa wajahnya semakin mendekat, hembusan nafasnya itu menyentuh wajahku. "Kau mau ngapain?," tanyaku sambil menghindari wajahnya yang semakin dekat. Dia membersihkan mulutku yang penuh dengan noda makanan.
"Jangan berprasangka gitu lah," ujarnya sambil meneguk kopinya itu. Aku tertawa dan menganggapnya begitu lucu.

Saat kita pulang, dia  melihat jejak darah yang berupa garis lurus berwarna merah. Kita ingat suatu hal, LING! Kita bergegas ke lantai atas melihat Ling yang tampaknya tidak bernyawa kita mengantar Ling ke Rumah Sakit dan melihat ada pisau yang tertusuk di tangan Ling. "Hai, kalian akan dipindahkan ke ruangan VIP". Kita mengikuti Dokter itu ke ruangan VIP. Saat aku memasuki ruangan VIP, wow! Aku kagum, bahkan ruangan rumah sakit lebih mewah daripada kamarku. Aku dan Damian menemani nya dan menyadari ada hal yang tidak biasa. Kenapa Tante Tou dan Om Rein menghilang. Aku menelpon Tante Tou namun, tidak diangkat. Damian juga menelpon Om Rein tapi juga tidak di angkat.

"Hei, coba telpon Om Alvin". Damian bergegas untuk menelpon Om Alvin. Untung saja diangkat. "Om Alvin, Mama sama Papa hilang," ujar Damian. "Nak, tenanglah aku sudah didepan pintu rumah sakitmu," ujar Om Alvin yang membuka pintunya dan menyalakan lampunya. "Ling!". Om Alvin memeriksa tubuh Ling. "Apa yang terjadi?," tanya Om Alvin dengan raut muka yang miris. "Kita sedang bermesraan, tadinya ada orangtua kita di rumah, tiba-tiba saat kita pulang kita menemukan jejak darah dan kita sadar orangtua kita hilang," ujar Damian yang khawatir dengan keadaan keluarganya. "Kalian tinggal di tempatku sementara, jika aku tidak bisa menemukan mereka salah satu dari kalian akan aku adopsi," ujar Om Alvin. "Om, aku dan Damian menjalin hubungan," ujarku yang sedikit malu. "Ah, oke, Damian akan ku asuh," ujar Om Alvin. "Om, mending kau asuh cewekku, kasihan sekali dia tidak ada orangtua masih ga dijadikan anak asuhmu " ujar Damian. "Ya, benar juga, apapun yang kau katakan akan kuturuti," ujar Om Alvin.

Kita menunggu Ling untuk bangun, kita bahkan membacakan cerita dongeng kesukaannya. Lalu, Gia menjenguk kita. Aku tidak menyangka dia akan menjenguk kita tapi aku sangat senang. "Terimakasih," ucapku yang sangat tiba-tiba. "Kenapa?," tanya Gia. "Sudah menemukan badanku," ujarku. Dia hanya tersenyum dan disitu dia sadar. "Tunggu, kamu bukannya? AA-". Aku menutupi mulutnya dengan tanganku. "Jangan teriak," ujarku. "Aku bukan hantu tenanglah, aku manusia" ujarku yang berusaha untuk menenangkan diri wanita itu. "Oh syukurlah, tapi bagaimana bisa?" "Cerita yang panjang," jawabku. "Jadi bagaimana dengan kabar teman-teman?," tanyaku. "Ah, eum, mereka menjadi sangat buruk, mereka bahkan merokok dan mabuk-mabukan dan bermain judi," ujar Gia. "Semenjak kau meninggal ya walaupun kau sudah menjadi manusia sekarang, Sekolah menjadi aneh," ujar Damian. "Benar, bahkan murid-murid melakukan kebiasaan buruk tidak pernah ditegur," ujar Gia. "Hai, aku balik, hai Gia, btw nih orangtua kalian". Tante Tou dan Om Rein memelukku dan Damian dengan erat. Saat Ling dipeluk Tante Tou dia terbangun dari tidurnya yang panjang bagaikan hewan yang sedang hibernasi.

"Aku dimana?"

Psycho's LoveWhere stories live. Discover now