Laviertha tumbang, tak sadarkan diri di lantai kayu. Alaric melihat keadaan Laviertha, kebingungan memindahkan Laviertha sebelum akhirnya ia mendengar suara Hadrian yang ternyata telah sadarkan diri.
Alaric mengangkat tubuh Laviertha membaringkannya di Sofa kayu. Alaric dengan Hadrian berbincang, lantas Alaric menceritakan semua yang terjadi, dimulai saat ia sadarkan diri hingga Laviertha yang tumbang di depannya, setelah menempatkan Theodore di ranjang.
"Tapi apa benar kita masih ada di Hutan Kematian?"
"Aku pikir begitu, kita masih di dalam hutan. Sebelum aku tak sadarkan diri, aku menuju sebuah cahaya redup dan saat lebih dekat dengan cahaya itu, pondok semakin terlihat walau kabur di mataku"
Hadrian terlihat berpikir keras. Ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang wanita muda bisa bertahan hidup ditengah Hutan Kematian, yang nyaris merenggut nyawa ketiganya.
Ia menatap siluet wajah Laviertha yang tak sadarkan diri, yang terlihat begitu tenang dan damai. Wajahnya cantik memberi getaran yang tak bisa ia jelaskan.
Dengan rambut perak berkilau dan kulit seputih susu, membuat ia berpikir berulang kali 'apakah ia seorang malaikat? Ataukah seorang bidadari, yang disebutkan dalam dongeng?'
Tak hanya Hadrian, Alaric pun berpikir demikian. Akan tetapi keduanya memilih diam dan sibuk dalam pikiran mereka masing-masing, sembari terus menatap siluet Laviertha.
Laviertha membuka kelopak matanya, sinar keorenan mencapai mata Laviertha. Hari telah petang. Ia bangkit dan melamun sejenak sebelum disadarkan oleh suara Alaric.
"Nona? Apa anda telah baik kan?"
"Minumlah air ini, sebelumnya maaf karena menyentuh barang milik anda tanpa izin."
Laviertha menengok ke arah suara, Alaric dan Hadrian membeku melihat Laviertha yang memeriksa keadaan sekitar. Ia tak berkata apapun dan bangkit. Ia mengabaikan Alaric, sosok Laviertha yang terus bungkam, membuatnya terlihat tak nyata di mata Alaric dan Hadrian. Keduanya tanpa sadar menahan nafas.
Ia berjalan menuju ranjang, Theodore yang tengah terbaring diperiksa oleh Laviertha. Nafasnya lebih baik dari sebelumnya, namun tidak sepenuhnya benar.
Luka fatal telah tertutup, namun pasti ada beberapa yang masih terbuka. Oleh karena itu, Laviertha mengambil gunting dan menggunting pakaian Theodore.
Handuk di atas lacipun dibasahi dengan air yang ia buat dengan sihir. Laviertha menyeka darah kering di dada Theodore, membersihkan tubuhnya untuk melihat luka lain yang mungkin tertutup oleh darah kering tersebut. Laviertha terdiam, ia hampir melupakan keberadaan kedua pemuda yang telah sadarkan diri.
"Kalian kemarilah," ia melirik keduanya. Alaric dan Hadrian saling bertatapan satu sama lain, memastikan apa suara yang mereka dengar adalah hal yang nyata.
Laviertha menghela nafas dengan berat, keduanya yang mendengar itu, bergegas mendekat.
"Aku yakin ini adalah rekan kalian kan?" Laviertha bertanya, seolah-olah tak memerlukan jawaban dari keduanya. Ia langsung berkata.
"Bersihkan darah kering di tubuhnya, aku akan mengambil beberapa pasang pakaian untuk kalian."
Aura dan getaran yang dikeluarkan Laviertha entah mengapa membuat lidah keduanya kelu dan kaku. Mereka gugup dan tak bisa memalingkan wajah mereka dari Nona penyelamat mereka, walau itu merupakan tindakan tak sopan.
"Apa kalian tak bisa mendengar suara ku?" Ia mengerutkan dahinya, berbicara dengan nada sebal kepada kedua pemuda itu.
"Ya.. Ya!"
"Kami akan melakukannya!"Keduanya kompak menjawab, lantas ia pergi meninggalkan keduanya. Menuju tangga untuk sampai ke atap, di mana ia gunakan sebagai gudang penyimpanan.
Ia melihat beberapa pasang pakaiannya yang bisa digunakan oleh pria ataupun wanita, namun dengan tubuh mereka. Ini tak akan muat. Laviertha menghembuskan nafas berat untuk ke sekian kalinya, 'sial' pikirnya.
Sepertinya Ryuga mempermainkan tamu yang ia suruh untuk datang ke jantung hutan, di mana sarang ia berada. Laviertha pun yang kena batunya, sehingga ia harus pergi ke desa untuk membeli beberapa pasang baju untuk ketiganya. Tak mungkin ia membiarkan mereka bertelanjang dada begitu saja.
Sebelum Laviertha menggunting pakaian mereka, keadaan pakaian mereka telah rusak karena cakaran dimana-mana. Tapi tetap saja, tak nyaman baginya melihat seorang pria telanjang dada di rumahnya.
'Haa...' laviertha menghembuskan nafas berat, ia begitu tertekan karena semua telah keluar dari jalur.
Ia menenangkan diri dan mencoba untuk berpikir jernih. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke desa setelah membersihkan diri, dan berganti pakaian yang lebih tertutup.
Ia turun dari atap dengan membawa beberapa handuk yang lebih besar dan jubah mandi. Laviertha meletakannya di salah satu kursi di meja makan.
"Hangatkan sop di dalam panci, jika kalian lapar."
Ia berbicara sembari menyembuhkan luka sedang hingga ringan di tubuh Theodore. Ia menunjuk panci di atas kompor dengan dagunya, dengan matanya masih fokus melihat area luka Theodore dan segera menyembuhkan sisanya.
Setelah selesai ia menunjuk handuk dan jubah mandi, yang ia bawa. Lantas melangkah mendekat pintu keluar masuk pondok.
"Bersihkan diri kalian dan gunakan itu, aku akan keluar untuk mendapatkan pakaian untuk kalian."
"Tunggu sebentar nona,"
Alaric mendekat namun Laviertha melangkah menjauhi Alaric. Alaric yang mengetahui Laviertha tak nyaman, berhenti mendekatinya.
"Maafkan saya, saya pikir akan berbahaya bagi anda untuk pergi keluar pondok. Mungkin banyak monster yang menunggu kesempatan untuk menyerang. Lebih baik untuk tetap berada di dalam untuk sementara waktu."
Laviertha mengangkat sudut alisnya, sementara Alaric menggumam karena ia tak bisa berbicara sejelas sebelumnya setelah Laviertha menatapnya seperti itu.
Setelah Alaric memberi alasan lain dengan menggumam yang tak dapat ditangkap dengan jelas oleh telinga Laviertha, ia menghembuskan nafas berat.
'Berurusan dengan orang lain itu merepotkan' pikirnya.
Alaric terdiam dan menatap Laviertha dengan cara yang aneh, sedikit takut dan malu-malu. Laviertha malas untuk berlama-lama dan membuka mulutnya.
"Kamu pikir aku akan mati hanya dengan keluar dari pondok? Aku telah lama berta hidup disini, kamu mengkhawatirkan orang yang salah."
Ungkap Laviertha dengan dingin, ia kemudian keluar dari pondok tanpa mau melakukan percakapan lagi dengan Alaric. Sementara itu Hadrian hanya terdiam di samping ranjang, merawat Theodore.
Perasaan aneh menyebar di dada Alaric, ini perasaan malu dan gugup. Ia tau sebenarnya ia tak perlu mengkhawatirkan Nona Penyelamatnya, tapi ia tak bisa untuk tak Khawatir.
Ia merasakan langsung serangan dari Monster, pikirannya menduga-duga mungkin ini tak seperti hari biasanya di mana Nona penyelamatnya hidup sendirian di Hutan ini. Tapi tetap saja, ia telah sok tau dan mempermalukan diri di hadapan penyelamatnya.
"Alaric, bukankah ini semua aneh?"
Alaric tersadar dari lamunannya dan menatap Hadrian. Walau Alaric adalah Putra Mahkota, di antara keduanya yang telah berteman sendari kecil dan telah bersahabat. Sehingga saat keduanya sendirian, mereka menggunakan bahasa yang santai dan tidak formal. "Tentang? Terlalu banyak hal aneh disini, bicaralah dengan spesifik."
KAMU SEDANG MEMBACA
'SUMMER NIGHT' Cottage
FantasiTangan yang tak lagi dapat memegang benda. Kaki yang tak mampu melangkah apalagi berlari. Tubuh dan jiwaku dikurung serta dilecehkan oleh orang gila yang terus membisikan cinta. Kehidupan tanpa kebebasan adalah penjara, Kehidupan tanpa pilihan adala...