🍂04🍂

151 18 2
                                    


🍂Selamat membaca🍂

Percayalah ketika aku mengatakan bahwa dunia ini benar benar fantasi. Lihatlah bagaimana bayangan cermin yang seharusnya menolakkan aksi yang kita lakukan, justru hanya diam memandang serius.

"Kamu Olivia?" 

Aku bertemu dengan Olivia asli.

Dia tidak seperti yang kujabarkan dalam novel. Tidak ada keramahan sama sekali. Wajahnya tanpa ekspresi, mata yang memancarkan keseriusan, dengan aura menekan yang kuat menguar darinya.

Meski takut, aku melihat mulutnya terbuka hendak mengeluarkan sepatah kata. Namun tak ada satupun yang terdengar. Dia masih bergumam.

Aku bergidik ngeri, "Kamu bukan hantu kan?" Bodoh. Tentu saja dia hantu, sudah jelas aku yang menempati raganya. Artinya dia itu arwah penasaran.

Buru-buru aku berbalik, meninggalkan toilet yang menjadi saksi aku bertemu dengan Olivia.

Hendak menggapai pintu, tanganku di tahan sesuatu dan pandanganku gelap seolah ada yang menghalangi.

"Aku tidak mau mati. Aku mau anakku kembali," bisikkan halus membuat tubuhku meremang. Dan entah kenapa dadaku sesak secara tiba tiba. Sejurus kemudian, kesadaranku hilang entah kemana.

Aku masih memikirkan kata-kata seram itu. Suara dingin yang serak, samar samar membuatku bergidik ketakutan. Tapi makna tersembunyi apa yang ia berikan?

Apa maksudnya tidak mau mati? Anak, anak siapa? Kemana perginya anak itu? Dan kenapa harus kembali?

Pusing sekali memikirkannya, tapi aku lebih memikirkan tubuh Olivia yang pastinya tergeletak di toilet. Entah ada yang datang dan menolongnya, atau justru merasakan betapa kotornya tempat itu.

"Mati.."

Aku bergumam. Dan perlahan-lahan, tubuhku yang mati rasa, penglihatan yang gelap kini terobati dengan cahaya dan rasa sakit yang mendera.

Pupil mataku bergetar, terbuka sempurna dan mendapati lampu yang terang benderang. Sialan, siapa yang menaruhnya tepat di atas ku?

"Via.."

"Olivia, apa kamu mendengarku?" Suara bising menyambut telingaku. Aku melenguh kesakitan, tanganku rasanya di genggam kuat oleh seseorang.

"Sakit," lirihku.

"Apa yang sakit? Biar ku periksa."

Aku mencoba mengangkat tangan, "tanganku. Pegal," keluhku.

Dan di sana aku mendengar omelan panjang dan perdebatan kecil. Kesadaran mulai menghampiri, aku ternyata ada di sebuah ruangan putih entah di mana. Jika di sebut rumah sakit ini terlalu kecil, mungkin ini ruang kesehatan.

Aku bangkit bangun, dan merasakan pegal di tangan kiri yang ternyata sudah terpasang infus.

"Kenapa aku di sini?" Pandanganku beralih pada tiga manusia yang ada di depanku. Duanya sedang berdebat, satunya sedang memisahkan.

Ketiganya kompak menoleh saat aku bertanya. Dan Rafka yang pertama kali menghampiriku, "Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?"

Aku menggeleng, melepaskan jarum infus dengan paksa.

"Aku mau pulang," kataku lemah. Yah, ada kalanya aku keras kepala. Dan itu karena kejadian aneh yang ku alami hari ini. Kedatangan Olivia yang asli membuatku harus berpikir lebih keras.

"Kamu baru sadar, istirahatlah sebentar lagi. Saya- ekhem aku sudah menelpon dokter pribadi untuk datang ke rumah kita," tutur Rafka menahan aku yang ingin pergi.

Meraih Akhir BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang