🍂Happy Reading🍂
Jujur, ini pertama kalinya aku gugup. Gugup yang melebihi rasa takut saat interview dulu. Tanganku menahan gemetaran dan coba mengetuk pintu."Dia ada di dalam kan?"
Menunggu dengan tak sabar, aku nyaris hendak kembali sebelum mendengar kenop pintu bergerak. Aku sumringah saking senangnya.
"Rafka!" Aku menyambutnya riang, dia tampak kaget dan kebingungan.
"Ada apa? Kenapa kamu di sini?" Aku mengerjap lalu mundur karena malu.
"Ada yang ingin aku bicarakan."
Rafka menautkan alis. Aku menahan kedutan di bibir, memalsukannya dengan senyuman lebar.
"Masuklah," katanya sambil membukakan pintu. Dengan senang hati aku masuk ke dalam dengan segenap keberanian.
Ya, ini keberanian yang sangat luar biasa.
Demi bisa pulang ke rumah, aku memutuskan untuk menyanggupi keinginan Olivia. Dia tidak ingin mati dan ingin aku melahirkan anak bukan?
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rafka. Aku baru sadar dia hanya singletan. Badannya cukup kekar dan berotot, bisa kulihat dari sela sela kain putih itu.
"Kamu dengar saya?"
"Iya!" Aku menjawab cepat. Malu sekali! Jangan gara-gara tidak pernah melihat yang seperti itu membuat aku salah fokus.
"Ayo fokus Zira!" batinku.
"Untuk masalah kemarin..." Aku menjeda, melihat dia hendak menarik sofa single dengan mudah dan mendudukkanku tepat di hadapannya.
"Lanjutkan." Aku membeku. Debaran dada ini membuatku menahan napas. Apa dia akan mendengarnya? Kenapa ini sangat mendebarkan?
Jarak kami terpaut dekat, namun yang membuatku salah tingkah adalah tatapan sayu yang mampu melemahkan hati ini.
Tunggu!
Inikan tubuh Olivia! Olivia itu cinta Rafka garis keras. Pasti karena itu! Itu sebabnya aku merasa berdebar debar.
"Pantas saja," gumamku tanpa sadar.
"Apa?" Rafka mengerutkan dahi. Aku menggeleng cepat, segera aku fokuskan diri dan mulai pembicaraan yang amat serius.
"Aku ingin kita saling jujur. Aku ingin kita bicara dari hati ke hati untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada hubungan kita."
"Masalah? Apa yang terjadi pada hubungan kita?" Rafka menjeda dengan mengalihkan pandangan, "Kalau soal Juli, aku tegaskan sekali lagi, kami tidak punya hubungan yang seperti kamu pikirkan."
Aku menghembuskan napas lalu menarik dalam-dalam, "Aku tahu, aku paham."
Dengan tekad dan keberanian seadanya, aku memegangi wajahnya dan menyuruhnya untuk memandangku, "I love you." Mata kami saling memandang. Seolah itu terkunci satu sama lain.
"Rafka, aku sangat mencintaimu. Apa kamu tahu, kenapa aku sangat tidak suka dengan hubunganmu dan Juli? Dan itulah alasannya."
"Dan sekarang aku tanya, apa kamu juga mencintaiku? Sama sepertiku atau memang kamu hanya menjalankan tugasmu sebagai kewajiban suami. Aku sakit hati saat tahu kamu mencintai orang lain sementara kamu bersikap baik padaku," tuturku. Jujur itu adalah hal yang ingin aku katakan sebagai Olivia.
"Saya..."
Aku terkekeh melihat keterdiamannya, "Lihat, bahkan kamu sangat formal. Karena itulah aku meminta untuk berpisah. Aku hanya ingin menjaga perasaanku untuk tidak merasa sakit lebih dalam lagi."
Ku lepas tanganku dari pipinya, tapi tangannya yang besar menahannya.
"Aku minta maaf. Aku tidak tahu perasaan kamu memang tulus," ujarnya setelah lama diam.
"Aku," Dia menatapku dalam, "Aku mulai tertarik. Aku tertarik padamu."
"Tapi saya sudah nyaman seperti ini. Saya memang payah soal perempuan, saya juga tidak bisa mengerti perasaan kamu. Saya minta maaf," katanya menarik tanganku untuk dia cium dengan bibirnya.
Aku berkedip.
"M-maksudku, i-itu--" tanganku segera kutarik. Aku menyandarkan tubuh ke sofa dan melipat tangan mengalihkan rasa canggung.
"Aku rasa kita bisa mulai semuanya dari awal?" Dia tersenyum manis. Sial, memang kenapa kalau dia manis?
"Kalau begitu ayo kita tidur."
Mataku melotot, "Tidur?!" Tanpa sadar aku memekik keras. Segera aku berdehem pelan. Dia menaikkan alis seraya tertawa kecil.
"Kenapa? Kita sudah sepakat berbaikan. Untuk apa pisah kamar lagi?"
"Tapi, tapi, tapi aku--" Aku kehabisan kata. Dengan cepat bangkit dan berlari keluar.
"Aku mau ke kamarku dulu!"
Degup jantung kencang tak berhenti, aku menekannya kuat-kuat.
"Oliviaa plis! Tahan perasaanmu! Aku takut kebablasan!"
Kecanggungan itu nyatanya hanya lewat sebentar. Aku sudah stay memeluknya erat tanpa tahu malu. Memangnya kenapa, semua ini sah sah saja karena dia itu suamiku walaupun raga hasil pinjam.
"Kamu masih belum ngantuk?" tanya Rafka.
Aku menggeleng, "Mau nyanyiin?"
"Suara saya jelek."
"Hitung domba?"
"Kamu yang hitung, saya dengar." Aku malas, makanya nyuruh. Tapi agaknya ini sudah malam, aku mengeratkan pelukan dan memilih bersembunyi di dadanya. Ini semua demi dedek bayi.
"Tidur yang nyenyak, ayo pejamkan mata."
Aku menggeleng, mengendus wangi harum yang menguar dari tubuhnya. Sangat candu, khas seorang laki-laki. Jarang jarang aku begitu manja seperti ini pada lawan jenis.
"Via.." Ku dengar Rafka mengeram tertahan, "Ayo tidur, besok kita ada kelas." Suara serak basahnya mengalun indah. Aku malah jadi ingin menggodanya.
"Kamu mau bermain ga?" Aku bertanya sambil mendongak ke arahnya. Meski gelap, aku tahu dia bisa melihat wajahku.
"Ayo tidur," ajaknya lagi. Aku mendengus, "Aku gak bisa tidur, Rafkaaa." rengekku terbangun.
"Aku pindah saja ya?" pintaku memohon.
Rafka diam menatapku, lalu dia menghembuskan napas berat.
"Kamu mau apa?" tanyanya pasrah. Aku tersenyum menyeringai.
"Mau kiss!"
![](https://img.wattpad.com/cover/356164205-288-k726856.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Protagonis Wife's
FantastikMeraih Akhir Bahagia --> Protagonis Wife's Tanpa deskripsi! Langsung baca kalau penasaran! Tahap revisi✓ Bukan Plagiat✓ Up sesuka hati✓