***
Meera terengah. Ia kini sudah lelah berlari.
Ia pun sudah masa bodoh tidak bisa menyembunyikan wajahnya lagi, karena dupattanya sudah digunakan sebagai pengalih perhatian. Untung hari ini ia tidak memakai kacamata bacanya, terlalu sulit untuk berlari jika menggunakan itu.
Merasa sudah aman, Meera kini berjalan lambat sambil mengatur napas.
"Huff! Lagi-lagi papa menyewa detektif bodoh.." Ia terkekeh, saking mudahnya ia kabur dari semua detektif yang mencarinya. "Tapi, benar kata Sayeedah, papa sekarang menyewa seorang tentara. Dia tadi memakai baju loreng, kan? Memangnya sekarang pekerjaan seorang tentara mencari orang kabur?" Gadis itu terus meracau sendiri dalam perjalanannya menuju safe house.
Gadis bermata terang itu terus melangkah sampai jauh dari keramayan kota dan sekarang berjalan memasuki rimbunan tumbuhan canola yang sebentar lagi berbunga. Kuncup-kuncup kekuningan mulai terlihat yang membuat wajahnya kini lebih ceria. Cukup mendistraksi dirinya dari rasa lelah. Sesekali tersenyum menikmati angin yang menghembuskan peluh.
Meera terus melangkah diantara rimbunan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu itu, sampai akhirnya ia melihat rumah amannya di ujung jalan setapak. Ia begitu bangga dengan dirinya sendiri dalam dua minggu ini, apalagi dengan uang yang dia bawa sekarang.
Wait... Uang?
"OH SHIT!" Meera mengumpat keras. Saking buru-burunya untuk kabur, ia lupa memasukan amplop pemberian Pia di saku. Amplop berisi uang itu tertinggal di kafe. Capek-capek ia berlari, tapi tak mendapat hasil apapun dari pelarian hari ini. "Kenapa aku bodoh sekali!" Meera memukul kepalanya sendiri. "OUCH! Sakit..."
"Hai ya Allah.. Meera? Tum ho na*?" Umpatan Meera ternyata terdengar oleh seseorang.
( *Kau disini? )
"Dari mana saja? Untung tuan Mukesh baru saja pergi."
Sayeedah, orang kepercayaan Mukesh dan tentu saja Meera, memandang gadis itu dengan khawatir. Tapi wajah itu bukan kekhawatiran tidak bertemu Meera dalam dua minggu ini.
Tampaknya benar kecurigaan Mukesh, Sayeedah bersekongkol dengan Meera.
Dengan wajah cemberut, Meera menghampiri Sayeedah dan langsung memeluk orang yang sudah mengurusnya sejak kecil itu. "Are.. Kya hua?*"
( *Ada apa? )
Bukannya menjawab, wanita itu malah merasakan gadis yang ada dipelukannya terisak. Ia mengelus pelan surai tebal Meera.
"Kenapa aku begitu bodoh, Daijaan.." Meera melepas pelukan dan mengelap air matanya.
"Ada apa?" Pengasuhnya itu ikut menyeka air mata yang tersisa.
Meera menggeleng. Ia tidak mood untuk bercerita. Gadis itu terlalu lelah, ia malah melangkah duluan masuk bungalow lewat pintu belakang.
Ya, bungalow itu tak lain dan tak bukan adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal para pekerja di rumah Mukesh Chopra. Bungalow yang hanya berjarak kurang dari 200 meter dari kamarnya sendiri. Kebun canola yang Meera lewati tadi adalah kebun dibelakang bungalow nya.
Jadi ternyata, dalam dua minggu ini Meera hanya berpindah ke bangunan belakang rumah. Pantas saja dicari sejauh apa-pun Meera tidak akan ketemu. Karena keberadaan gadis itu sebenarnya sangat dekat.
YOU ARE READING
INCOMPLETED LOVE [✓]
RomansaMeera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke tiga gadis itu kabur dari rumah karena menolak perjodohan yang diatur sang ayah. Dan kali ini, Mukesh mulai khawatir. Sudah dua minggu Meera t...