***
Disebuah lorong sepi pengunjung dalam rumah besar keluarga Pia, Meera terus mencoba menggerakan tubuhnya sesuai gerakan yang sudah Ammar ajarkan. Sebuah lorong yang temboknya berhias barang-barang kerajinan tangan antik. Pantas saja Pia membuat sebuah Art Gallery, karena ternyata keluarganya juga menyukai seni. Dari lorong itu, keduanya masih bisa melihat keramaian yang terjadi di halaman belakang melalui jendela-jendela tinggi bergorden transparan.
Seperti saat di pesta Rehan Mehta, Ammar lebih lincah menari dibanding Meera. Karena itu, Meera mempercayakannya sebagai koreografer. Untung Ammar memberikan gerakan tari yang tak begitu sulit, lagu yang mereka bawakan juga tidak sampai satu menit, namun tetap saja Meera harus mengingat-ingat beberapa gerakan itu kurang dari lima menit lagi dari sekarang.
Meera kini setengah berputar, bergerak ke samping untuk menempelkan punggung dengan angin, seolah itu punggung Ammar nanti. Lalu dua jarinya terangkat di dahi, seperti memberi hormat. Meera melakukan akhir tarian dari koreo yang diberikan Ammar dengan sempurna. Hingga akhirnya gadis itu beringsut terduduk di lantai berkarpet. Menghela napas dengan cepat, seraya gerak tubuh yang terhenti. Dia kelelahan.
"Ammar... apa kita benar-benar harus melakukan ini? Kakiku rasanya mau copot," ucap Meera diantara helaan napas yang menderu. Ia mengkipasi wajahnya yang mulai berkeringat.
Ammar yang sejak tadi bersandar di tembok dengan menumpu dagu di tangan seperti sedang menjadi penilai gerakan Meera, menghentikan lagu yang dimainkan dari ponselnya sambil terkekeh. Lagi-lagi lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu pilihan tentara itu.
Meera menatap Ammar yang menghampiri tanpa merespon pertanyaan darinya, lalu laki-laki tersebut berjongkok di sisi. Dan tanpa bicara, Ammar menempelkan perlahan ujung lengan sherwaninya pada wajah Meera yang berpeluh. Menghentikan setiap bulir keringat yang muncul dari sisi-sisi wajah dan leher sang gadis.
Meera membeku, netra coklat kehijauan sang gadis membulat, memandang wajah Ammar yang begitu tenang melakukan hal yang tidak terduga itu. Bibirnya pun ikut terkatup, terlalu bingung harus bereaksi seperti apa, tapi terjadi kekacauan dalam perutnya.
"You're staring, Meera.." suara lirih Ammar tertangkap telinga gadis itu, membuat Meera langsung mengalihkan tatapan dan bangkit dari posisinya. "Aku mau mengambil minum dulu!" ucapnya cepat dan melangkah meninggalkan Ammar yang masih terdiam di posisi jongkok tanpa menoleh ke arah kepergian Meera.
Dengan langkah dihentak seperti orang kesal, Meera kembali ke halaman belakang menuju salah satu meja bundar bertaplak elegan dimana gelas-gelas minuman tersaji. Dengan sekali teguk, Meera mengosongkan satu isi gelas.
"Astaga... ada apa denganku?" Meera menepuk dahi begitu tenggorokannya tak kering lagi. "Dia Ammar, Meera. Ammar... bukan Annand!" bisiknya pada diri sendiri. Rasanya Meera ingin sekali berteriak. Setahun ini, semua bagai mati rasa. Tapi kenapa sekarang malah muncul perasaan aneh dalam dirinya? Atau... memang seharusnya dia tidak bertemu dengan Ammar. Karena bagaimanapun juga, sosok Annand akan memenuhi pikirannya saat menatap wajah itu.
Merasa pikirannya sedang kacau, Meera kembali meraih satu gelas minuman bening keemasan yang terlihat berbuih. Dan tentunya minuman itu bukanlah sekedar air mineral.
Saat bibirnya akan menyentuh pinggiran gelas, seseorang menahan tangannya. Menghentikan gadis itu menenggak isi gelas champagne keduanya. "Jangan sampai aku nanti menari dengan orang yang sedang mabuk.." suara Ammar terdengar tajam, yang membuat Meera segera melepaskan diri dari laki-laki itu dan juga sedikit menjauhkan.
YOU ARE READING
INCOMPLETED LOVE [✓]
RomanceMeera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke tiga gadis itu kabur dari rumah karena menolak perjodohan yang diatur sang ayah. Dan kali ini, Mukesh mulai khawatir. Sudah dua minggu Meera t...