03

465 106 35
                                        

Sebuah cahaya perambah bumantara, muncul membuat terang sekejab. Ia yang menceritakan singkat kisahnya, namun datang menggelegar berulang kali. Sekali menyambar, maka hancurlah sesuatu yang dikehendaki.

Seorang laki-laki bertubuh setinggi 178cm, sedang berbaring santai di atas tempat tidur di kamarnya. Menikmati suara gerimis hujan yang entah kapan akan berhenti. Ia menutup mata, mencoba untuk menenangkan hiruk pikuk pikirannya. Tapi, ketenangan itu segera pudar ketika ia mendengar ada suara benda jatuh yang berasal dari luar kamarnya.

Awalnya Rafka mengira kalau itu hanya ulah seekor kucing atau hewan kecil lainnya yang tidak sengaja menyenggol benda dan akhirnya terjatuh. Namun, ia dengan cepat menghapus pikirannya ketika dirinya melihat siluet seseorang dari celah pintunya. Rafka lantas bangun dan mengedipkan mata berulang kali, takut salah lihat. Tapi, ternyata bayangan itu masih ada dan tampak mondar-mandir didepan kamar seolah sedang menunggu Rafka membukakan pintu untuknya.

Rafka mengerutkan dahinya, "Ayah? Ibu?" Panggilnya dengan pelan, berharap mendapatkan jawaban dari luar sana.

Tapi ditunggu-tunggu, Rafka sama sekali tidak mendengar ada sepatah kata apapun yang menjawab panggilannya. Rafka berinisiatif untuk mengecek langsung keluar kamar. Dengan ragu, ia mulai memegang gagang pintu. Belum sempat kenop pintu diputar, Rafka baru tersadar kalau Ibu dan Ayahnya baru saja pergi kerumah sang nenek, karena mereka mendapatkan kabar jika neneknya sedang sakit.

Akhirnya, Rafka menarik diri untuk tidak melanjutkan mengecek siapa yang sedang mondar-mandir di luar. Saat beribu pertanyaan muncul di kepalanya, ia kembali dikejutkan dengan suara langkah kaki yang berlarian di tangga rumahnya. "Maling?" gumamnya.

Tanpa berfikir panjang, Rafka langsung membuka pintu kamar dan pergi keluar. Dengan langkah kaki yang memburu, Rafka berlari menuruni anak tangga yang menghubungkannya ke lantai satu. Ruang tamu.

Setelah berada di akhir anak tangga, tubuh Rafka langsung dibuat membeku seakan dirinya sedang berada di Kutub Utara. Bibirnya bergetar, kakinya lemas hingga tak dapat menahan bobot tubuhnya.

Rafka terduduk, ia meneteskan air mata. "Narel.." panggilnya lirih.

Rafka bisa melihat jelas bahwa ada sesosok laki-laki bercelana jeans, mengenakan jaket hitam milik Narel saat ia ditemukan tak bernyawa. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, membelakangi Rafka yang sedang berada didalam rumah.

"Itu lo, kan?" tanya Rafka yang seperti tidak dapat menerima kenyataan bahwa temannya itu sudah tiada.

Lelaki itu mengangguk pelan sebanyak dua kali sebelum akhirnya melangkah berjalan menuju jalanan. Entah apa kekuatan yang mendorong Rafka untuk bangkit lagi, ia dengan sigap berdiri dan berlari mengejar laki-laki yang dikiranya Narel.

Dikala sudah berada di pinggir jalan raya, Rafka melihat jika laki-laki tadi tengah berdiri tegak di seberangnya, menatap Rafka dengan sorot sayu, walau ia tidak dapat melihat dengan jelas karena tertutup oleh hujan dan lelaki tadi memakai masker. Laki-laki itu melambaikan tangannya ke kanan dan kiri seolah sedang mengajak Rafka untuk menghampirinya.

Dibawah guyuran hujan dan ditengah keramaian jalan raya, Rafka berjalan pelan menyeberangi jalanan. Karena tidak menoleh ke kanan atau kiri untuk memastikan ada atau tidaknya kendaraan yang melintas, membuatnya hampir saja tertabrak sebuah truk Pertamina yang sedang melaju kencang. Untung saja hal itu tidak terjadi karena ada sepasang tangan yang menariknya ke belakang. Rafka terjatuh ke tepi jalan dan punggungnya mengenai batu-batu kecil namun sedikit tajam.

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang