Chapter 09 - Ombak Meriak Memeluk Elegi

75 12 5
                                    

“I want to see how many times you needed me and I wasn't there

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I want to see how many times you needed me and I wasn't there.”

— Sabiel Nuraga

***

Rinai kembali menyapa—basahi bentala beserta seluruh isinya, menguarkan aroma angu yang selalu menjadi candu bagi sebagian orang. Tak jarang mereka mendeksripsikan bahwa hujan adalah obat untuk segala resah, gundah, dan untuk segala luka yang melintang tak beraturan.

Pemuda dengan gitar yang berada dalam pangkuannya itu memandang ke arah luar kafe, ia tatap setiap rinai yang menetes dari atas bumantara—ada perasaan gamang yang turut hadir getirkan rasa. Sesekali ia berpikir, mungkin saja sebenarnya bukan hujan yang ia benci, tetapi rangkaian tragedi yang terjadi ketika langit malam kala itu sedang menangis.

Di mana ia tertidur, tetapi getirnya selalu terbawa mimpi, berulang-ulang bahkan sampai detik ini. Sebab, kilasan masa lalu tak pernah luput dari ingatan Raga—membekas dan mungkin selamanya akan seperti itu. Lalu, ke mana lagi ia harus bersembunyi, ketika tidur pun tak cukup mampu berikan dia ketenangan?

“Ga, lo gak usah ngelamun, kesambet nanti!” seru Juna, seketika buyarkan lamunan pemuda itu.

“Stop paying attention to the rain, Ga.”

Raga alihkan pandangan, menaruh sepenuh minatnya pada orang-orang yang baru saja bersuara. Mereka tahu, ketakutan terbesar Raga adalah hujan, meski tragedi itu terjadi ketika Raga sudah menginjak usia remaja. Namun, tetap saja, rasa trauma tidak memandang seberapa kecil dan dewasanya kamu.

“Gar, menurut lo hujan semenyenangkan apa?” tanya Raga pada pemuda yang saat itu sedang sibuk menggeser layar ponselnya.

“Lebih tepatnya menenangkan. Gemuruhnya gak berarti apa-apa, karena mau seberisik apa pun suara hujan, tetap aja ... rain is so peacful.” Tegar menjawab.

Raga tatap Tegar selama beberapa detik, setelah pemuda itu menjawab pertanyaannya. Hanyar Tegar, yang menyukai ciptaan Tuhan yang terkadang menguarkan aroma angu itu, sedang Juna, Akash, dan Kemal jika diberi pilihan, mereka lebih memilih cuaca panas daripada hujan. 

“Menurut kalian kesalahan gue fatal banget, ya, bagi Kalana?” Raga tidak bisa pungkiri hal tersebut, sebab terus terbayang seolah dia sedang mencari jawaban atas segala kebingungannya.

“Menurut lo, emangnya enggak? Lo kissmark Adee–”

“Eh, enggak, ya, anj!” Adeena membenarkan, ia pukul pelan pundak Juna. Benar-benar menyanggah apa pun yang dikatakan pemuda itu, karena itu tidak benar.

“Lo pada bisa bedainnya gak, sih, antara kissmark sama bekas gigitan serangga?” Adeena kembali bersuara, setelah beberapa detik lalu memotong ucapan Juna.

“Gigitan serangga apa gigitan Akash, Deen?” Yang bertanya melengos sembarangan ke arah kursi dekat Juna—sebagai bentuk upaya untuk menghindari kekesalan Adeena, yang bisa memukulnya kapan saja. 

Siapa lagi jika bukan Raga—manusia yang terkadang menjadi orang yang benar-benar paling menyebalkan dari ke empat orang lainnya.

“Sialan, lo! Gue enggak sebuas itu buat gigit Adeena.” Akash menjawab, ia bela kekasihnya.

“Semua orang juga ngira ini bekas kissmark, padahal jelas-jelas gue bisa rasain sakitnya pas digigit semut api tadi pagi.”

“Ini sempet rame dibahas sama anak-anak, apalagi fakultas Sastra sama Seni Rupa itu lumayan deketan, mungkin aja beritanya sampe ke telinga Kalana.” Adeena mencoba mengklarifikasi atas kesalahpahaman setiap orang yang mengira jika tanda merah itu adalah kissmark.

“Bukan ulah Akash, apalagi Raga. Ngaco! emang gue semurah itu!” Saat ini Adeena benar-benar merasa sangat kesal, ia sudah sangat sabar untuk tidak membesarkan masalah yang jelas-jelas tidak pernah dilakukannya. Namun, tetap saja ada beberapa orang mengira itu adalah kissmark.

“Terus lo break sama Kalana perkara ini, Ga?” tanya Akash, sedang yang lainnya menjadi penyimak karena yang mengerti masalah ini hanya mereka bertiga.

Raga diam, sebenarnya alasan mereka putus itu bukan karena hal itu. “Gue gak tahu pasti, malah gue mikir kalo kesalahannya itu gak ada di diri gue, tapi ada di diri Kalana. Kek ibaratnya, dia yang salah dan dia yang minta lepas dari gue.”

“Gak tahu, anjir! Gue beneran pusing,” kata Raga frustrasi.

“Cuma si Kalana-Kalana itu yang benar-benar bikin gue setengah gila, dan sialnya gue beneran gak bisa lepas dari manusia satu itu.” Raga kembali bersuara.

“Kalana emang setertutup itu?” Juna tanyai Raga, yang langsung dibalas anggukan oleh pemuda tersebut.

“Gue ngelakuin hal konyol kayak gini cuma demi dapet jawaban atas keraguan gue terhadap Kalana, tapi apa pun yang gue lakuin gak pernah dapet jawaban.”

“Lo pada bayangin, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar. Gue ada selama itu, gue nyata bukan cuma bayangan, tapi ketika gue mulai masuk ke dunianya, dia malah ciptakan sekat yang bikin gue gak bisa masuk lebih dalam lagi.”

“Gue tahu, setiap orang punya privasi tapi si Kalana privasi banget, anjir! Gak ngerti gue, bener-bener gak ngerti lagi.”

“Gue minta dia panggil gue dengan sebutan sayang aja, dia nolak. Emang ada cewek yang katanya cinta, yang katanya sayang, tapi disuruh manggil 'sayang' aja gak bisa?” Raga keluarkan semua unek-unek yang selama ini ia pendam.

“Cuma Kalana, only Kalana.”

“Tapi lo cinta sama dia udah kayak orang bego!” cibir Tegar.

“Nah, itu masalahnya. Gue gak tahu, apa yang bikin gue senyaman itu sama Kalana, gue bener-bener gak tahu apa yang udah Kalana kasih ke gue, sampe gue bener-bener gak bisa lepasin dia.”

“Lo aja bingung hal apa yang bikin lo senyaman itu sama Kalana, mungkin yang dirasain Kalana juga sama kayak lo, Ga. Dia bingung gimana cara mendeksripsikan perasaannya terhadap lo, cuma Kalana yang ngerti dan kalo pun dia gak sayang sama lo, logika aja gak mungkin dia sia-siain waktu dua tahunnya cuma buat nemenin lo doang.”

“Kalana mungkin emang rumit. Tapi lo harus tahu, menyatukan dua pemikiran yang berbeda itu jauh lebih rumit.” Juna menarik napasnya, lalu diembuskannya dengan pelan.

“Lo putus sama Kalana, entah gue harus senang atau sedih, Raga.”

“Bukan karena gue suka Kalana, tapi ada perasaan lain yang nunggu rasanya terbalaskan. Dia udah nunggu lo selama itu.”

I feel u, Ga. Gue ngerti banget gimana posisi lo, gimana bingungnya lo saat ini. Gue harap, lo bisa selesaikan masalahnya bukan hubungannya,” kata Akash.

“Gimana pun juga, selalu ada manusia yang meninggikan egoisme dalam suatu hubungan. Solusinya, benahi dan tetap tinggal atau buka lembaran baru, cuma lo yang tau, Ga.”

Mereka sibuk memberi Raga saran, sedangkan Kalana sibuk menyendiri di bawah rinai dan juga deburan ombak yang sesekali menggelitik kaki mulusnya. Rasanya, ia ingin berlari pada ombak yang meriak, menawarkan diri untuk ia bawa tenggelam—sedalam-dalamnya hingga ke dasar laut.

Apa pun yang perempuan itu rasakan, hujan dan laut akan selalu menjadi pemenang perihal menenangkan dari ingar-bingar yang terus memenuhi isi pikiran si gadis.

“Bagaimanapun kondisiku saat ini, aku akan tetap datang dan membawakanmu beberapa tangkai Crysanthemum Flowers. Aku tidak akan pernah berhenti, sama sepertimu yang tak pernah berhenti mengikis sebuah batu besar hingga rusak dan tak lagi berbentuk dengan elok.”

“Karena terus mendapatkan tekanan hingga membuatnya hancur menjadi beberapa bagian.”

To be continued ....

RAGA : Narasi Terakhir dari Hati✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang