Desir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan?
Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku akan merengkuhmu dalam sajak yang tak berirama, namamu akan terus melekat meski nyatanya kita tak pernah terikat. Sampai huruf terakhir di cerita ini kamu akan tetap menjadi pemenangnya."
- 𝓩𝓲𝓱𝓪𝓷 𝓗𝓪𝓷𝓭𝓪𝔂𝓪𝓷𝓲
***
Beberapa pertanyaan masih menggeluti pikiran Isabelle, terutama kehadiran Raga yang tiba-tiba mengusiknya. Isa masih mengingat kata-kata terakhir yang sempat diucapkan Raga pada pertemuan mereka beberapa hari lalu. Isa heran, Isa kebingungan, kenapa ia harus berada di fase yang benar-benar sulit untuk Isa pahami.
Alangkah baiknya, jika keadaan tidak seperti ini, mungkin Isa masih bisa menggemari Raga secara diam dan tenang. Benar, hidup itu penuh dengan hal-hal yang tidak terduga, Isa dibuat benar-benar tidak nyaman, terlebih lagi sejak saat gadis itu mengetahui isi dari berkas yang tak sengaja dirinya lihat.
Isa kembali menatap pantulan wajahnya di depan cermin, dia sudah siap untuk turun ke bawah-menemui orang tuanya. Ini bukan hal yang awam untuk Isa, karena setiap tahunnya memang seperti ini, menghabiskan waktu bersama sebelum orang tuanya disibukkan kembali dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada habisnya itu.
Atensi Isa terkunci pada Narendra juga Arsy yang sedang fokus mengobrol di ruang telivisi, beserta Juna dan Raga yang turut menyimak obrolan keduanya. Isa hanya bisa menghela napas, karena untuk saat ini itu yang bisa Isa lakukan.
"Lagi ngobrolin apa?" tanya Isa, lalu gadis itu duduk di samping Arsy.
Semua orang tampak serius, seolah menaruh semua minatnya pada satu obrolan yang belum Isa ketahui sama sekali.
"Soal apa?" Isa bertanya, sebab ia tidak ingin langsung menyimpulkan pertanyaan sang ayah.
"Isa sama Raga. Sebenarnya, keputusan ada ditangan Raga sama Isa, Papa juga gak mau maksain sesuatu apalagi ini menyangkut masa depan kalian berdua. Surat itu dibuat karena Papa rasa Isa aman sama Raga, kebetulan Om Jovan juga suka liat Isa, katanya Isa cantik, kepribadian Isa bagus, sampai pada akhirnya Om Jovan minta Isa buat jadi menantunya suatu hari nanti."
"Kita sempat bikin perjanjian, yang di mana berkasnya masih Papa simpan sampai saat ini. Papa sadar, ini enggak masuk akal buat Isa maupun Raga, tapi untuk keputusannya Papa balikin lagi ke kalian berdua, karena dari awal surat itu dibuat juga tidak akan memaksakan kalau emang Isa dan Raga ngerasa gak cocok."
"Tadinya, Papa mau kasih tahu ini setelah Isa lulus kuliah nanti, tapi ternyata Isa udah tahu duluan. Jadi, Papa bahas sekarang mumpung ada kesempatan."
"Papa juga udah ngobrol sama Raga. Sejauh ini, Isa paham apa yang diomongin sama Papa?" tanya Narendra.
"Isa tadinya mau marah sama Papa, tapi kabar ini masih bikin Isa kaget sampe Isa bingung harus mencerna semuanya dari mana," jawab Isa.