Piket Masak

53 7 0
                                    

Jangan ajarin gue sabar, gue pernah ladenin orang yang udah tahu salah tapi masih kolot dan malah ngegas.

***

Saat rapat evaluasi, suasana jadi memanas. Cila, Wuri, dan Via makin meninggikan suaranya untuk membela diri. Dan mereka malah ngatain bagian gue yang nggak mau gabung bareng mereka. Like what? Helllooooo? Excusme? Mau gabung gimana lah kalian aja sering pulang dengan waktu yang lamaaa. Diajak sholat berjamaah di masjid nggak mau malah suka jaga balai. Dan mereka malah bilang bagian gue juga nggak ngajak ngobrol. Padahal gue yang notabennya sebagai sekretaris waktu ngabsen siang dan malam selalu ngajak ngobrol meski sekedar basa basi doang. Iya, jadi KKN ini ada absen siang dan malamnya. Setiap anggota posko harus tandatangan setiap siang dan malam hari sebagai bukti bahwa mereka tetep berada di posko. Nah mereka bertiga ini cenderung pulang jam 10-11 an yang di mana tuh masih pagi tapi tetep absen. Dan gue nggak masalahin awalnya karena masih awal-awal KKN. Sementara itu, gue juga ajak ngobrol, "eh tandatangan dulu ya, absen." Nggak hanya itu, gue kadang masih suka bicara yang lainnya juga di sela-sela absen mereka. Si Ulfa, Ema, dan Ara juga sebenarnya sempet ngobrol meski cuma bilang "gue duluan ke balai", "ke masjid dulu ya", dan sebagainya. Gitu gitu kita masih tetep ngobrol dong, tapi mereka bilangnya kita nggak pernah ajak ngobrol. Nggak terima dong gue.

"Bentar, gue waktu absen siang dan malam juga sambil ngobrol loh sama kalian kok bilang nggak ajak ngobrol? Gue juga pernah chat lo kan, Via. Tapi sama lo nggak dibales. Dibaca aja nggak sama sekali. Malah nimbrung di grup chat pas cowoan yang chat."

Sebelumnya gue memang coba chat Via dan bilang kalau mau pulang jangan sering-sering takutnya menimbulkan keirian antar sesama. Eh malah nggak dibaca sama sekali dong. Di waktu yang bersamaan si Agus chat di grup buat ngajak ke pasar dan si Via ini nyahut. Disitu gue udah kesel tapi yaudahla gitu.

Dan pas gue ngomong gitu, si Via ini mendadak diem yang awalnya nyerocos dan ngegas jadi kayak mikir jawaban apa yang bakal dikeluarkan dari mulutnya. Terus si Wuri malah jawab, "Kenapa nggak ngomong langsung, Teya? Kenapa harus chat? Kita kan di satu tempat yang sama."

"Lah, itu gue tadi ngomong apa? Gue tuh juga sambil ngajak kalian ngobrol! Paham nggak sih?" Gue udah mulai emosi si Wuri pura-pura bego atau gimana, mana nada suaranya seolah mau mojokin gue.

"Lagipula kan waktu pembekalan, DPL udah kasih tahu kalau kita nggak boleh pulang selain ada udzur syar'i! Kalian lho, baru pertama udah pulang dengan alasan nggak cocok sama airnya."

"Lho ya kan kulit orang beda-beda, Teya. Ada yang sensitif kalau ngerasa nggak cocok," kata Cila.

"Yakin sensitif? Gue tanya deh, kalian ambil wudhu, cuci muka pakek air mana? Apa tayammum karena nggak cocok? Alasan aja kan kalian pengen jalan-jalan terus pulang."

"Kita baru empat hari di sini, kalau udah satu minggu lebih bahkan dua minggu kalau kalian mau pulang gue bisa maklumin," lanjut gue.

"Bener tuh, gue aja orangtua lagi sakit semuanya tapi gue milih nggak pulang karena inget pesennya Bapak DPL. Orangtua gue harus sering chek up ke rumah sakit juga," kata Ara yang ikut bersuara.

"Sakit apa orang tua lo, Ara?" tanya Mahdar.

"Jantung," jawab Ara yang hampir nangis. Ia masih coba tahan air matanya di pelupuk mata, tapi dia udah nggak kuat kalau udah bicarain masalah orangtua. Akhirnya dia nangis.

"Ya lo bisa pulang juga, Ra. Lagian kan bisa izin pulang. Kenapa harus kita yang disalahin sih?" si Cila juga sok-sok an mau nangis juga, suaranya digetar-getarin.

"Nah iya, kan bisa pulang juga. Lagian kenapa harus iri-irian sih? Pulang tinggal pulang doang elah diribetin banget." Via balik bersuara dengan nada ngegasnya.

KKN Penuh DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang