Mancing Masalah

45 6 0
                                    

Jangan suka mancing-mancing masalah deh, gue nggak doyan makan hati terus soalnya. Bikin eneg!

***

"Gue mau ngomong serius sekarang, ya."

"Oke boleh, Teya. Apa?" sahut Rohi.

"Kalau boleh jujur gue kesel banget. Kalian kentara ada di pihaknya mereka bertiga. Setiap kalian ngomong sama kita awalnya setuju lah ini itu, tapi waktu dirapatkan bareng yang tiga kalian beda pemikiran lagi dan condong setuju ke mereka bertiga. Kalian tahu nggak sih, kalian tuh kayak lebih banyak omong kosong doang. Kebanyaan ngomong kalau nggak ada aksinya buat apa gue tanya? Hah? Mereka bertiga tuh cuma pinter ngomong, tapi tong kosong nyaring bunyinya sumpah. Kalau ngomong udah kayak paling bener aja sampe bikin kalian lebih setuju. Buktinya apa? Mereka nggak ada bukti nyatanya, nggak ada aksinya, nggak ada ikut andilnya cuma MODAL NGOMONG DOANG. Paham nggak sih?"

Rohi, Mahdar, dan Agus masih diem. Mereka belum bisa menjawab apapun. Jadi, gue lanjutlah ngomong biar apa yang masih nyelem di lubuk hati gue itu keluar semua.

"Lo juga sebagai kordes bukannya mengayomi malah dibiarin perdebatan terjadi di grup. Minimal dilerai, jangan gitulah, apa kek. Pokoknya harus teges kalau jadi kordes. Dan lo Rohi sebagai keamanan nggak bisa teges juga buat nggak izinin mereka keluar. Mereka lho, TIAP HARI pulangnya masa lo diemin aja? Asal udah izin cukup gitu? Mana bonceng tiga nggak pakek helm. Kalau ada apa-apa gimana? Lo juga, Agus. Jadi wakil kayak nggak ada gunanya. Malah makin biarin mereka pakek sepeda motor lo. Nggak hanya itu sih, lo juga kadang jadi tukang adu domba. Tahu gak sih kenapa kita males masak? Soalnya kalian lebih suka masakannya mereka bertiga. Kalau bagian gue yang masak nggak dihabisin terus malah dituduh buang-buang makanan elah."

"Lagian kalau kalian keburu makan, noh di depan balai ada warung nasi buset cuma tujuh ribuan. Jangan selalu cari celah buat keadaan makin runyam deh. Telat masak aja duh udah jadi perdebatan. Dikira kalian doang yang laper? Gue juga laper kali. Minimal sabar nunggu masaknya nasi, kalau keburu ya beli. Nggak usah diambil ribet. Dipikir enak hidup penuh drama kayak gini? NGGAK, gue juga CAPEK."

Saat gue mau terus ungkapin kekesalan gue, nggak terasa air di pelupuk mata gue ini tiba-tiba turun. Sial, gue mau nangis. Gue langsung membelakangi mereka termasuk Ara.

"Sebelumnya maaf ya, Teya. Gue sebagai keamanan juga bingung sebenarnya kalau mereka izin. Mau diizinin atau nggak mereka bakal tetap berangkat. Jadi percuma gitu," kata Rohi.

"Iya itu karena lo belum bisa tegas!" sahut gue masih membelakangi mereka.

"Iya maaf, Teya. Btw kalau lo juga mau pulang izin nggak apa-apa, Teya.  Kayak Ulfa itu izin bentar. Rumah lo juga lumayan deket kan?"

"Bukan masalah deketnya, tapi ini lagi bicara KEPATUHAN. Ck, nggak paham banget. Atau lo juga sering pulang, ya? Makanya lo nggak teges. Jadi kita mau bebasin itu hah? Oke kalau gitu—" Belum selesai gue ngomong, sialnya gue makin jadi nangisnya. Gue benci nangis di situasi ketika gue mau marah. Dan tangisan gue kedenger sama mereka.

"Teya, lo nangis?" tanya Rohi.

"Iya dia nangis, soalnya kalian lebih sering bela mereka bertiga itu," jawab Ara.

"Rohi, lo punya tisu kan? Kasih si Teya, kasian," kata Agus.

"Bentar." Rohi bangkit dari duduknya dan balik ke ruang tidur buat ambilin gue tisu beberapa carik lalu dia kasih ke gue, tapi dia kasihnya pas di depan gue di mana wajah gue udah merah karena nangis. Gue kan malu ck, kenapa dia ngasihnya begitu sih.

KKN Penuh DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang